Dalam lanskap politik yang kerap didominasi jargon dan retorika, munculnya figur seperti Dedi Mulyadi menjadi angin segar bagi masyarakat Jawa Barat. Gaya kepemimpinannya yang membumi, spontan, dan berani mengambil kebijakan yang tidak populer menjadikannya sebagai fenomena sosial-politik tersendiri. Sosok yang akrab dipanggil “Kang Dedi” ini tidak hanya dikenal lewat kebijakan yang pro-rakyat, tetapi juga melalui cara komunikasinya yang dekat dengan masyarakat dan viral di berbagai platform media sosial.
Pemimpin dari Akar Rumput
Dedi Mulyadi bukanlah wajah baru di panggung politik Jawa Barat. Lahir di Subang, 11 April 1971, ia meniti karier politik dari bawah, mulai dari anggota DPRD hingga menjabat sebagai Bupati Purwakarta dua periode (2008–2018), sebelum akhirnya menjabat sebagai anggota DPR RI. Pada awal 2025, Dedi resmi dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat, menggantikan Ridwan Kamil. Kehadirannya disambut antusias oleh warga yang merindukan pemimpin yang hadir secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam banyak kesempatan, Dedi menolak protokoler berlebihan. Ia lebih senang mengenakan pakaian tradisional Sunda, blusukan ke kampung-kampung, dan berdialog langsung dengan warga tanpa sekat. Dari sinilah citra kepemimpinan “membumi” itu lahir dan berkembang.
Kebijakan-Kebijakan yang Menggugah dan Viral
Sejak menjabat, Dedi meluncurkan sejumlah kebijakan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Kebijakan tersebut bukan hanya berdampak nyata, tetapi juga mencuri perhatian publik hingga viral di media sosial.
- Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor
Salah satu kebijakan awal yang mencuri perhatian adalah pemutihan pajak kendaraan bermotor. Dengan menghapus denda dan tunggakan pajak, Dedi memberikan ruang bernapas bagi warga yang kesulitan ekonomi pasca-pandemi. Langkah ini menuai apresiasi luas dan dianggap sebagai bentuk keberpihakan nyata pada masyarakat.
“Ada warga yang nunggak pajak sampai 18 tahun. Masa kita harus hukum mereka terus-menerus? Kita bantu mereka bangkit dulu,” ujar Dedi dalam sebuah wawancara di media lokal.
- Larangan Study Tour ke Luar Pulau Jawa
Kebijakan lainnya yang menuai perhatian nasional adalah larangan study tour sekolah ke luar Pulau Jawa. Menurut Dedi, kegiatan semacam itu seringkali memberatkan orang tua dan mengalihkan fokus pendidikan. Meskipun menuai pro dan kontra, terutama dari pihak sekolah dan penyelenggara wisata, kebijakan ini tetap dijalankan dengan alasan keberpihakan pada keluarga kurang mampu.
“Belajar tidak harus mahal. Kebahagiaan anak-anak juga bisa dibangun dari lingkungan terdekatnya,” ucap Dedi dalam pernyataan resmi.
- Penertiban Bangunan Liar di Kawasan Puncak
Penertiban kawasan Puncak Bogor juga menjadi sorotan. Dengan menggandeng aparat dan dinas terkait, Dedi menindak bangunan liar yang dibangun tanpa izin di lahan resapan dan sempadan sungai. Aksi ini dinilai sebagai langkah tegas dalam menjaga ekosistem dan mencegah bencana banjir.
- Realokasi Anggaran untuk Kesejahteraan
Tak kalah penting adalah kebijakan realokasi anggaran senilai Rp6 triliun untuk program-program prioritas. Dana ini digunakan untuk renovasi rumah warga miskin, pemasangan listrik gratis, hingga penyediaan air bersih di wilayah pelosok.
“Kalau APBD besar tapi tidak menyentuh rakyat, buat apa? Anggaran harus hidup di tengah masyarakat, bukan di ruang rapat,” tegasnya.
Gaya Komunikasi yang Dekat dan Emosional
Keberhasilan Dedi Mulyadi dalam membangun koneksi dengan masyarakat tidak lepas dari gaya komunikasinya yang lugas, hangat, dan penuh empati. Ia kerap terlihat menahan tangis saat berdialog dengan warga, memeluk anak-anak, atau bahkan ikut turun tangan membenahi rumah warga secara langsung.
Di media sosial, akun Instagram dan YouTube miliknya menjadi sumber inspirasi dan hiburan. Konten-konten yang diunggah bukan sekadar pencitraan, tetapi menjadi ruang cerita yang menggambarkan interaksi nyata antara pemimpin dan rakyatnya.
Fenomena Viral dan Representasi Aspirasi Rakyat
Mengapa kebijakan dan gaya kepemimpinan Dedi menjadi viral? Salah satu jawabannya terletak pada “relatability”—kebijakan yang dikeluarkan sejalan dengan keresahan nyata warga.
Di tengah masyarakat yang jenuh dengan janji kosong, Dedi tampil dengan aksi. Saat warga sulit membayar pajak, ia beri pemutihan. Saat orang tua terbebani study tour, ia larang. Saat rumah tak layak huni, ia datang memperbaiki. Fenomena inilah yang membuatnya menjadi simbol harapan baru.
Antara Pujian dan Kontroversi
Tentu tidak semua langkah Dedi Mulyadi berjalan mulus. Beberapa kebijakan menuai kritik, terutama dari kalangan birokrat dan pelaku usaha yang merasa terdampak. Misalnya, larangan study tour dianggap merugikan industri pariwisata pendidikan.
Namun bagi banyak warga, sikap tegas Dedi justru menjadi bukti bahwa ia tidak takut mengambil risiko politik demi kepentingan masyarakat luas. Fenomena ini memunculkan istilah baru: “Gaya Dedi Mulyadi” sebagai representasi dari kepemimpinan yang berani dan pro-rakyat.
Pelajaran dari Jawa Barat
Fenomena Dedi Mulyadi menjadi cermin baru dalam praktik demokrasi lokal. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan yang otentik, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat masih sangat dibutuhkan dan dirindukan.
Dalam era digital, di mana citra dapat dibentuk oleh algoritma, kehadiran seorang pemimpin yang benar-benar “hadir” di tengah rakyat menjadi penyeimbang. Dedi tidak sekadar hadir di layar, tapi di jalan-jalan desa, di rumah-rumah warga, di keluhan-keluhan kecil yang sering diabaikan pejabat lain.
Penutup
Dedi Mulyadi bukan hanya fenomena politik. Ia adalah cerminan dari keinginan masyarakat akan pemimpin yang jujur, bekerja nyata, dan tidak menjadikan kekuasaan sebagai panggung pencitraan semata. Kepemimpinan membumi yang ia tunjukkan membuka jalan baru bagi praktik politik yang lebih manusiawi, langsung, dan menyentuh akar.
Masyarakat Jawa Barat patut berharap, bahwa apa yang dimulai oleh Bapak Aing ini bisa menginspirasi pemimpin lain—di tingkat kabupaten, kota, hingga nasional—untuk kembali menengok rakyat bukan hanya menjelang pemilu, tetapi setiap hari. (red)