Sengketa Tanah Carik dan Tanah Adat di Perbatasan Cihanjuang-Cihanjuang Rahayu Kembali Mencuat

Bandung Barat

Cihanjuang Bandung Barat 17 April 2025– Sengketa atas kepemilikan lahan di perbatasan antara Desa Cihanjuang dan Desa Cihanjuang Rahayu kembali menjadi sorotan. Isu ini menghangat setelah warga mempertanyakan keabsahan sejumlah sertifikat kepemilikan atas tanah yang telah lama ditempati. Persoalan makin kompleks karena pengklaiman terjadi antara dua jenis status tanah: tanah carik milik desa dan tanah adat yang diklaim oleh pihak lain.

Kepala Desa Cihanjuang Rahayu, Deni Daryanto, dalam wawancara pada Kamis (17/4) pukul 11.28 WIB, mengungkapkan bahwa persoalan ini telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum dirinya menjabat.

“Masalah ini muncul sebelum saya menjabat. Proses hukumnya sudah berjalan sejak sekitar tahun 1997, dengan putusan keluar pada 2001. Saya hanya mengikuti proses yang ada, tanpa memberikan pernyataan tambahan. Kami hanya ingin yang terbaik bagi desa dan masyarakat,” ujarnya.

Terkait status lahan, Deni menjelaskan bahwa sebagian warga telah menempati wilayah tersebut sejak sebelum pemekaran desa dan telah mengantongi sertifikat resmi.

“Sudah dari dulu warga menempati lahan itu, bahkan sebelum adanya pemekaran desa. Sertifikat yang mereka miliki pun sudah ada sejak lama, jadi bukan tiba-tiba muncul. Semua proses administrasi sudah berjalan sejak dulu,” jelasnya.

Namun di sisi lain, muncul klaim dari pihak yang menyebut tanah tersebut sebagai tanah adat yang diwariskan secara turun-temurun, sehingga menimbulkan tumpang tindih kepemilikan dengan status tanah carik milik desa.

Kepala desa mengakui bahwa hingga kini belum ada dokumen kuat dari pihak desa yang dapat menjadi dasar hukum yang kokoh—termasuk dokumen asli kepemilikan, bukti penyitaan, maupun pembatalan sertifikat.

Isu rencana pengukuran ulang dari pemerintah pusat juga mencuat sebagai upaya mencari titik terang.

“Kalau memang akan ada pengukuran, saya harap itu dilakukan agar ada kepastian hukum. Kami berharap tidak ada pihak yang dirugikan, baik warga yang dulu membeli tanah tersebut maupun pihak desa. Kalau memang ada warga yang dulunya ditipu oleh oknum tertentu, saya harap ada solusi terbaik,” tegasnya.

Deni juga menyatakan bahwa dukungan dari media dan pemerintah daerah menjadi krusial agar penyelesaian sengketa berlangsung secara transparan dan adil.

“Dengan bantuan media, kami berharap ini bisa segera ditindaklanjuti agar ada kejelasan dan kepastian hukum,” ujarnya.

Soal total luas lahan yang disengketakan, Deni mengaku belum memiliki angka pasti dan enggan berspekulasi.

Sengketa ini kembali menyoroti pentingnya transparansi tata kelola aset desa, khususnya di wilayah yang memiliki sejarah panjang perpindahan dan pemekaran administratif.(By Nuka & Kiki).


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *