Bayangkan bila seorang kepala daerah, begitu dilantik, langsung sibuk keliling menghadiri acara seremonial. Tiap pekan ia hadir dalam setiap Pelantikan pejabat daerah, Upacara peringatan hari besar nasional, Peresmian proyek atau fasilitas publik, Pembukaan atau penutupan event besar, Penerimaan tamu kedinasan, Penyerahan bantuan sosial atau penghargaan, hingga Kunjungan kerja ke desa/kelurahan dan kecamatan dalam rangka meninjau kondisi lapangan.
Kamera mengikutinya ke mana-mana; sambutan panjang dibacakan dari teks resmi sekretarisnya, sementara senyum dilepaskan ke seluruh penjuru ruangan. Namun, ketika warga bertanya soal jalan berlubang, air bersih yang kian langka, sampah yang kian menumpuk atau pelayanan kesehatan yang belum memadai—jawabannya tetap: “Masih dalam studi kelayakan.”
Semisal kinerja seorang pemimpin diukur dari banyaknya pita yang dipotong atau spanduk serta baliho yang dipasang, maka makna kepemimpinan menjadi kabur. Pembangunan sejati tak diukur dari daftar acara, melainkan dari manfaat langsung bagi masyarakat. Uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk memperbaiki jalan rusak, bukan untuk dekorasi panggung; untuk memperkuat sistem air bersih, bukan untuk makan-makan setelah selesai acara.
Dr. Rendra Sihombing, pengamat kebijakan publik, menyebut fenomena ini sebagai “pemerintahan pencitraan.”
“Kepala daerah yang lebih suka tampil di panggung seremonial sejatinya sedang lari dari tanggung jawab. Daripada menelusuri akar masalah dan merancang kebijakan berkelanjutan, mereka lebih nyaman dengan teks sambutan dan kilau lampu flash,” ujarnya.
Ironisnya, justru media lokal yang berusaha menelisik program-program substantif kerap terkendala akses. Banyak rapat perencanaan, diskusi teknis, atau evaluasi APBD tertutup untuk jurnalis independen. Alasan formalnya: ruang hanya disediakan untuk “rekanan media” yang berstatus buzzer “bayaran”, sehingga liputan kritis sulit menembus. Akibatnya, pers lokal dipenuhi liputan potong pita dan senyum pejabat—bukan laporan mendetail soal realisasi anggaran atau dampak kebijakan.
Jika praktik ini dibiarkan, kepala daerah bukan lagi pemimpin daerah, melainkan selebritas panggung pemerintahan. Popularitas di media sosial mungkin melonjak, tetapi kepercayaan publik akan terkikis. Rakyat membutuhkan jalan mulus, air bersih, dan pelayanan publik yang responsif, bukan deretan dokumentasi upacara belaka.
Masyarakat saat ini sudah jeli membedakan antara kerja nyata dan sekadar pencitraan. Seremonial boleh menjadi pelengkap, asalkan tidak menggusur substansi. Karena pada akhirnya, yang akan dikenang bukan berapa kali seseorang membuka acara, melainkan seberapa banyak masalah rakyat berhasil diatasi dengan solusi konkrit.
Lima tahun masa jabatan bukan rentang waktu yang panjang. Jika periode tersebut hanya dipenuhi rangkaian seremoni tanpa kebijakan transformasional, sejarah akan mencatat satu hal: kepala daerah itu piawai berpose di atas panggung—sementara infrastruktur dan layanan publik tetap menunggu diperbaiki. Rakyat menuntut aksi nyata, bukan acara gunting pita. (Red)