Setiap 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tapi pertanyaannya, apa yang sebenarnya kita rayakan? Apakah sekadar gelar akademik, ranking ujian, atau kelulusan? Atau ada yang lebih dalam dari itu semua?
Ike Hikmawati
@ikehikmawati
Ike Hikmawati, dalam refleksi lembut dan penuh makna bertajuk “Ilmu Tak Akan Mampir pada yang Malas”, mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati bukan soal nilai semata, melainkan soal semangat belajar sepanjang hayat. Uraian beliau bukan sekadar rangkaian kata puitis, tapi ajakan yang menyentuh hati—terutama bagi generasi muda yang tengah tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi.
Belajar Bukan Sekadar Duduk di Kelas
Belajar hari ini terlalu sering disamakan dengan hadir di kelas dan mencatat materi. Padahal, seperti yang disampaikan Ike, “Tak cukup hadir. Harus konsisten. Tak cukup catat. Harus merenung dan menerapkan.”
Belajar itu perjuangan. Ia menuntut rasa haus akan pengetahuan. Karena ilmu tak akan mendatangi mereka yang malas, apalagi yang hanya berharap lulus tanpa usaha. Anak muda zaman sekarang perlu diingatkan: pintar saja tidak cukup, harus ada semangat untuk terus mencari tahu.
Ilmu Adalah Cahaya Hidup
Dalam naskahnya, Ike menggambarkan ilmu bukan sekadar alat cari kerja. Ilmu adalah cahaya yang membimbing. Ia tak hanya menuntun kita menuju dunia yang lebih baik, tapi juga menuntun kita menjadi manusia yang lebih bermakna.
“Ilmu adalah kunci kehidupan sejati,” tulisnya. Sebuah kalimat pendek, tapi sarat makna. Karena dalam dunia yang kadang membingungkan, ilmu-lah yang menjadi petunjuk arah.
Warisan yang Tak Bisa Dicuri
Hari ini kita hidup dalam dunia yang mengagungkan materi. Harta, jabatan, dan status jadi ukuran sukses. Tapi generasi muda perlu tahu: ilmu adalah harta yang tak ternilai. Seperti kisah Abdullah bin Abbas, sahabat muda Nabi Muhammad SAW, ilmu adalah kekayaan sejati.
“Tak bisa dicuri, tak habis dibagi. Semakin kamu memberi, semakin banyak kamu punya.” Kalimat ini menyentil kita semua. Karena ilmu sejati bukan milik pribadi, tapi untuk dibagikan dan diamalkan.
Belajar Sepanjang Hayat
Kita hidup di era ketika belajar sering dianggap selesai setelah lulus. Padahal, pelajar sejati tahu: proses belajar tidak pernah benar-benar berakhir. Kita belajar saat gagal, saat sendiri, bahkan saat lelah. Hari Pendidikan Nasional adalah pengingat bahwa belajar adalah perjalanan seumur hidup.
Abdullah bin Abbas: Sosok Muda, Ilmu yang Dalam
Ike mengajak kita menengok ke masa lalu, kepada sosok muda bernama Abdullah bin Abbas. Usianya baru 13 tahun ketika Nabi wafat, namun ilmunya sudah diakui. Ia adalah ulama muda, ahli tafsir, dan murid kesayangan Nabi.
Saat anak seusianya hari ini sibuk dengan gadget dan konten hiburan, Abdullah memilih bermalam di rumah Nabi hanya untuk menyaksikan bagaimana beliau shalat malam. Saat Nabi bangun, ia sudah siap menyuguhkan air wudhu. Khidmat dan cinta itu membuat Nabi mendoakannya langsung, “Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam agama dan tafsir Al-Qur’an.”
Pertanyaannya: Seberapa dalam khidmat kita kepada guru hari ini? Masihkah kita berharap doa terbaik dari mereka, atau sekadar mengejar nilai semata?
Tawadhu dan Hormat kepada Guru
Salah satu pelajaran penting dari Abdullah bin Abbas adalah tawadhu. Dalam sebuah kesempatan shalat bersama Nabi, ia merasa tak pantas berdiri sejajar dan memilih mundur. Tapi Nabi menariknya kembali dengan senyuman penuh cinta. Ini bukan hanya cerita sejarah, tapi teladan untuk generasi hari ini.
Menghormati guru bukan hanya saat upacara. Ia ada dalam cara kita mendengarkan, bersikap sopan, dan mengamalkan ilmu yang diajarkan. Karena sejatinya, memuliakan guru sama dengan memuliakan ilmu itu sendiri.
Pendidikan adalah Tentang Menjadi Manusia
Hari Pendidikan Nasional bukan tentang merayakan gelar. Ia adalah momen merenung. Apakah kita sedang benar-benar tumbuh sebagai manusia, atau hanya berlari mengejar formalitas?
Ike menulis, “Hari ini kita bukan sedang merayakan gelar dan ranking, tapi semangat untuk terus belajar, meski lelah, meski gagal, meski sendiri.” Pendidikan sejati adalah tentang menjadi manusia yang utuh—yang berpikir, merasa, dan memberi manfaat.
Ajakan untuk Generasi Muda
Generasi muda hari ini hidup di tengah derasnya informasi dan tuntutan zaman. Tapi justru karena itu, mereka harus makin teguh berpegang pada nilai belajar yang benar. Bukan belajar untuk ujian, tapi belajar untuk kehidupan. Belajar dengan hati, bukan sekadar rutinitas.
Hari Pendidikan Nasional adalah panggilan: ayo bangkit, ayo belajar. Tak masalah berapa usiamu, tak masalah seberapa sering kamu gagal. Selama semangat belajar masih menyala, kamu berada di jalan yang benar.
Historical reflexes of life.
Abdullah bin Abbas: Tarjuman al-Qur’an dan Habrul Ummah
- Latar Belakang dan Keluarga
Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib adalah sepupu Rasulullah SAW. Ia lahir di kota Makkah, tiga tahun sebelum peristiwa hijrah ke Madinah, yaitu pada tahun 619 M. Ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, adalah paman Nabi, menjadikan Abdullah bagian dari Bani Hasyim, kabilah yang sangat dihormati. Ibunya adalah Lubabah binti al-Harits, salah satu perempuan pertama yang masuk Islam setelah Khadijah.
Sejak bayi, Ibnu Abbas sudah berada dalam lingkungan kenabian. Salah satu riwayat menyebut bahwa Rasulullah SAW melakukan tahnik kepadanya, yaitu mengunyah kurma dan memasukkannya ke langit-langit mulut bayi sebagai bentuk keberkahan dan doa. Rasulullah juga sering memanggilnya dengan panggilan penuh kasih, dan memberikan perhatian khusus terhadap pendidikannya.
- Masa Kanak-Kanak dan Doa Nabi
Meskipun Abdullah bin Abbas masih sangat muda saat Rasulullah wafat—sekitar 13 tahun—ia sempat menyerap banyak ilmu dari beliau secara langsung. Ia dikenal sangat cerdas, penuh semangat belajar, dan memiliki ingatan yang kuat. Rasulullah SAW pernah mendoakannya:
“Allahumma faqqihhu fid-din wa ‘allimhu at-ta’wil”
“Ya Allah, pahamkanlah dia dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir Al-Qur’an.”
Doa ini menjadi kenyataan luar biasa. Abdullah bin Abbas tumbuh menjadi ulama besar umat Islam, penguasa ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan berbagai cabang ilmu keislaman lainnya.
- Metodologi dan Kecintaan terhadap Ilmu
Setelah wafatnya Rasulullah, Ibnu Abbas menyadari bahwa sumber ilmu masih ada di tangan para sahabat senior. Ia tidak merasa malu meskipun lebih muda, untuk belajar dari mereka. Ia sering mendatangi rumah para sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, dan Abu Hurairah.
Suatu hari, temannya dari kalangan pemuda Quraisy menyindirnya, “Untuk apa kamu duduk di depan rumah para sahabat tua ini? Mereka tidak akan peduli padamu.” Namun bertahun-tahun kemudian, teman-temannya itu kagum, karena Ibnu Abbas menjadi tokoh ilmu terdepan dan rujukan umat.
Ibnu Abbas biasa mencatat hadits, bertanya tentang asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), serta mengumpulkan tafsir dari para sahabat senior. Ia juga dikenal tidak gegabah dalam menjawab pertanyaan keagamaan, dan jika tidak mengetahui jawaban, ia akan mengakuinya tanpa ragu.
- Pengakuan dari Para Sahabat
Umar bin Khattab sangat menghormatinya meskipun usianya jauh lebih muda. Dalam majelis syura yang biasanya hanya dihadiri oleh sahabat senior, Umar mengundang Ibnu Abbas duduk bersama. Sebagian merasa aneh, mengapa anak muda diikutsertakan.
Umar lalu menguji Ibnu Abbas dengan meminta tafsir dari surah An-Nashr. Sebagian besar menjawab bahwa itu pertanda kemenangan Islam dan pembukaan kota Makkah. Namun Ibnu Abbas menjawab:
“Itu pertanda bahwa ajal Rasulullah SAW telah dekat.”
Umar membenarkan tafsiran itu, dan sejak saat itu, para sahabat lainnya semakin menghormati ilmu Ibnu Abbas.
- Kontribusi Besar dalam Tafsir
Ibnu Abbas adalah sahabat yang paling dikenal dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Pengetahuan mendalamnya mengenai bahasa Arab, sejarah, dan sebab-sebab turunnya ayat menjadikannya rujukan utama.
Beberapa prinsip tafsirnya yang terkenal antara lain:
Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain yang sejenis.
Menggunakan hadits untuk menjelaskan ayat.
Menjelaskan ayat dengan konteks sejarah atau kejadian saat diturunkan.
Menafsirkan dengan kaidah bahasa Arab dan syair-syair Arab kuno.
Koleksi tafsir yang dinisbatkan padanya, seperti Tanwîr al-Miqbâs, meskipun keautentikannya masih diperdebatkan, menjadi warisan besar yang dirujuk oleh para mufassir, termasuk Imam At-Tabari dalam tafsir monumental Jami’ al-Bayan.
- Kedalaman dalam Ilmu Hadits dan Fiqh
Ibnu Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Ia dikenal sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dan sering meneliti sanad serta makna sebelum menyampaikan kepada orang lain.
Dalam fiqh, ia memiliki ijtihad yang berani namun tetap berlandaskan dalil. Beberapa pendapatnya bahkan berbeda dengan sahabat lain, namun tetap dihormati karena argumentasi yang kuat. Contohnya, dalam hal warisan nenek, ia berpendapat bahwa nenek bisa mendapat bagian warisan jika ibu si mayit tidak ada, berdasarkan ijtihad yang dalam.
- Peran Politik dan Sosial
Meskipun lebih dikenal sebagai ulama, Ibnu Abbas juga aktif dalam politik. Ia mendukung khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Perang Shiffin. Ali mengangkatnya sebagai gubernur Basrah. Ia pun turut berdakwah dan menyebarkan ilmu di wilayah itu.
Ketika muncul kelompok Khawarij yang menentang Ali dan mengkafirkan para sahabat, Ibnu Abbas datang langsung ke markas mereka dan berdialog dengan dalil-dalil yang kuat. Ribuan dari mereka kembali ke pangkuan kebenaran setelah debat ilmiah itu. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidak hanya ahli ilmu, tapi juga piawai berdakwah dan berdiskusi.
- Murid-Murid dan Warisan Ilmu
Ibnu Abbas mendidik generasi tabi’in yang menjadi tokoh besar. Di antaranya:
Mujahid bin Jabr, yang berkata: “Aku membaca seluruh Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas dan setiap ayat aku tanyakan tafsirnya.”
Ikrimah, mantan budak Ibnu Abbas yang menjadi ahli tafsir dan hadis.
Ata’ bin Abi Rabah, ahli fiqh dan mufti Mekkah.
Para murid ini menyebarkan ilmu Ibnu Abbas ke seluruh penjuru negeri Islam, hingga namanya tetap hidup sepanjang zaman.
- Akhir Hidup dan Wafat
Ibnu Abbas menghabiskan akhir hayatnya di kota Thaif. Ia wafat pada tahun 68 H (sekitar 687 M) dalam usia sekitar 70 tahun. Saat meninggal, banyak sahabat dan tabi’in menangisinya. Diriwayatkan bahwa saat penguburan, burung putih beterbangan di atas langit seolah memberi penghormatan, meski ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Ali bin Abi Thalib berkata tentangnya:
“Ia adalah lautan ilmu yang dalam, dan jika ia berbicara, engkau akan menyaksikan keluasan pengetahuan yang tidak terbantahkan.”
- Kesimpulan dan Teladan
Abdullah bin Abbas adalah contoh sempurna dari seorang ulama yang mencintai ilmu, berdedikasi tinggi, rendah hati, dan dekat dengan Rasulullah SAW. Ia mewakili semangat Islam dalam menjadikan ilmu sebagai cahaya kehidupan.
Beberapa pelajaran dari hidupnya:
Tidak ada batas usia untuk menjadi pencari ilmu.
Kedekatan dengan ulama besar dan guru penting sangat berpengaruh.
Diskusi, bertanya, dan mencatat adalah bagian penting dari proses belajar.
Ketekunan dan doa sangat menentukan keberhasilan dalam menuntut ilmu.
Abdullah bin Abbas meninggalkan warisan besar yang tak tergantikan. Umat Islam sepanjang sejarah terus merujuk padanya dalam tafsir, hadis, fiqh, dan keteladanan moral. Nama “Tarjuman al-Qur’an” yang disandangnya bukan sekadar gelar, tetapi simbol keagungan ilmu dalam Islam.(By Nuka).