Pemerintah Kota Cimahi mengusung visi membentuk ruang publik yang lebih tertib, aman, dan estetis. Inisiatif ini merupakan bagian dari strategi urban revitalization yang belakangan menjadi tren nasional, di mana ruang-ruang kota dirombak demi menciptakan lingkungan yang lebih representatif bagi mobilitas modern dan daya saing pariwisata.
Pemerintah Kota Cimahi mengusung visi membentuk ruang publik yang lebih tertib, aman, dan estetis. Inisiatif ini merupakan bagian dari strategi urban revitalization yang belakangan menjadi tren nasional, di mana ruang-ruang kota dirombak demi menciptakan lingkungan yang lebih representatif bagi mobilitas modern dan daya saing pariwisata.
Di Cimahi, efek dari kebijakan ini terasa cepat dan tajam: omzet pedagang menurun drastis, beberapa usaha terpaksa mengurangi jam operasional, bahkan sebagian berada di ambang kebangkrutan.
Ekonomi Mikro yang Tercekik oleh Rencana Makro
“Sudah dua minggu penghasilan saya anjlok lebih dari setengah,” keluh salah satu pedagang kelontong di sekitar kawasan pertokoan pusat kota. “Biasanya pembeli datang ramai saat jam makan siang, sekarang mereka malas jalan kaki terlalu jauh karena parkir ditiadakan.” Testimoni semacam ini bukanlah kasus tunggal. Banyak pelaku UMKM yang mengalami nasib serupa, mencerminkan ketimpangan antara tujuan jangka panjang kebijakan dan dampak jangka pendeknya terhadap kelompok rentan.
Dalam tinjauan tata ekonomi wilayah, kebijakan yang mengubah sistem akses dan distribusi mobilitas publik sejatinya harus selalu dilandasi oleh studi dampak ekonomi lokal. Namun dalam kasus Cimahi, pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan dinilai masih lemah. Beberapa perwakilan pedagang menyatakan bahwa sosialisasi hanya dilakukan secara umum dan tidak menjelaskan secara mendetail mekanisme mitigasi atau tahapan transisi yang bisa membantu pelaku usaha beradaptasi.
Hal ini menjadi perhatian serius Ketua Komisi IV DPRD Kota Cimahi, Ike Hikmawati. Dalam paparannya, Ike menyatakan bahwa penataan kota harus menempatkan musyawarah dan partisipasi warga sebagai pilar utama. “Kita tidak bisa bicara kota cantik tanpa memastikan bahwa kehidupan warganya tetap terjaga. Kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak tidak bisa diambil sepihak. Pemerintah harus terbuka pada dialog dan koreksi,” tegasnya.
Paradoks Kota: Cantik di Mata, Rapuh di Dalam
Salah satu paradoks paling mencolok dalam pembangunan kota modern adalah ketika wajah kota diperindah, namun denyut sosial-ekonominya justru melemah. Ruang publik steril dari pedagang, trotoar lapang namun sepi aktivitas, bangunan rapi namun tanpa fungsi sosial—semua ini menjadi gejala dari pendekatan yang lebih mengutamakan estetika dibanding substansi.
Konsep Campernik yang ditujukan untuk memperindah kota tidak akan mencapai hasil berkelanjutan bila dilakukan dengan mengesampingkan konteks kehidupan warga. Dalam banyak studi perencanaan kota, pembangunan yang hanya berorientasi pada tampilan fisik tanpa mempertimbangkan fungsi sosial cenderung gagal. Kota menjadi “cantik di mata, rapuh di dalam”—sebuah fenomena yang kerap dijuluki façade urbanism atau kosmetika tata kota.
Padahal, fungsi kota sejatinya bukan hanya sebagai ruang tinggal, tetapi juga ruang tumbuh. Ia adalah habitat sosial, ruang ekonomi, dan medan interaksi antar warga. Ketika fungsi-fungsi itu tereduksi oleh penataan yang eksklusif, maka yang terjadi adalah alienasi dan ketimpangan.
Belajar dari Kota-Kota yang Inklusif
Beberapa kota dunia telah menunjukkan bahwa penataan yang estetis dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Di Barcelona, misalnya, proyek superblocks yang mengubah blok jalan kendaraan menjadi ruang pedestrian, justru meningkatkan kunjungan warga dan memperbesar peluang ekonomi lokal. Hal ini dicapai karena pemerintah setempat merancang kebijakan berbasis partisipasi aktif dan menyediakan solusi transportasi alternatif sebelum kebijakan diterapkan.
Di kawasan Asia, Seoul menjadi contoh lain. Pemerintah kota tidak hanya menata fisik kawasan pasar tradisional, tetapi juga memberikan pelatihan bisnis, digitalisasi sistem pembayaran, dan promosi online bagi pelaku usaha kecil. Transformasi tidak berarti menggusur, melainkan mengangkat kualitas dan daya saing komunitas yang telah lama eksis.
Apa yang bisa dipelajari Cimahi dari kota-kota tersebut? Bahwa estetika bukan tujuan akhir, melainkan media untuk mencapai kota yang lebih adil dan manusiawi. Kota cantik tidak cukup hanya bersih dan rapi, tetapi juga harus hidup dan memberi ruang tumbuh bagi semua lapisan masyarakat.
Menyusun Kebijakan yang Adil dan Berbasis Data
Untuk menjawab tantangan penataan Campernik ini, langkah pertama yang mendesak adalah melakukan evaluasi kebijakan berbasis data lapangan. Pemerintah Kota Cimahi perlu memetakan dampak ekonomi secara kuantitatif—berapa persen omzet turun, siapa saja yang terdampak, dan bentuk dukungan apa yang dibutuhkan. Evaluasi ini harus melibatkan lembaga akademik, komunitas warga, dan perwakilan UMKM agar hasilnya bisa menjadi dasar koreksi kebijakan yang konstruktif.
Di saat yang sama, dialog publik perlu dibuka lebar. Forum dengar pendapat, diskusi kebijakan, dan konsultasi terbuka harus menjadi bagian integral dalam agenda penataan. Dalam dunia tata kota modern, istilah co-creation menjadi sangat relevan: merancang ruang bersama warga, bukan untuk warga secara sepihak.
Solusi-solusi adaptif juga perlu diterapkan. Misalnya, penyediaan parkir alternatif dengan rute pedestrian yang nyaman dan aman, penjadwalan penataan secara bertahap, serta keringanan retribusi atau insentif pajak bagi pelaku usaha terdampak selama masa transisi. Langkah-langkah seperti ini menjadi sinyal bahwa pemerintah hadir dengan empati dan visi jangka panjang yang inklusif.
Membangun Kota, Membangun Kepercayaan
Pada akhirnya, membangun kota adalah membangun kepercayaan. Kebijakan publik hanya akan berhasil bila masyarakat percaya bahwa negara bekerja demi kebaikan bersama, bukan sekadar memenuhi target kosmetik pembangunan. Cimahi memiliki peluang besar menunjukkan bahwa penataan tidak harus berarti penggusuran, bahwa cantik dan menarik bisa sejalan dengan adil dan berkelanjutan.
Di tengah semangat percantik tata ruang kota, semoga kota ini tidak hanya menjadi indah dipandang, tetapi juga kokoh dalam solidaritas sosial dan keberlanjutan ekonomi. Karena sejatinya, kota bukan hanya soal jalan dan taman, tetapi tentang kehidupan yang dijalani ribuan warganya setiap hari.