Sosialisasi Pengelolaan Sampah Skala Desa: Dorong Peran Aktif TP PKK dan Edukasi Berbasis Rumah Tangga

Blog

Bandung Barat, 25 Juni 2025 – Bertempat di Kabupaten Bandung Barat, kegiatan sosialisasi bertajuk Pengelolaan Sampah Skala Desa dilaksanakan dengan melibatkan berbagai unsur strategis dari tingkat desa hingga kabupaten. Acara ini merupakan bagian dari program pemberdayaan Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) dalam mendukung pengelolaan sampah berbasis sumber, yakni dari rumah tangga.

Kegiatan ini disampaikan langsung oleh Irfan Arfianto, salah satu panitia pelaksana kegiatan sosialisasi, yang menyebut bahwa kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka penguatan kapasitas kader PKK desa dan kecamatan sebagai ujung tombak dalam edukasi lingkungan hidup, khususnya soal sampah rumah tangga.

“Sosialisasi ini bertujuan untuk mengauralisir—atau menyatukan persepsi—seluruh kader TP PKK tentang tata kelola sampah skala desa. Kita ingin mereka menjadi pelopor gerakan memilah sampah dari rumah masing-masing,” ungkap Irfan.

Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 200 peserta yang terdiri dari perwakilan 165 desa dan 16 kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Peserta merupakan ketua TP PKK desa, ketua TP PKK kecamatan, serta anggota kelompok kerja (pokja) yang menangani isu lingkungan dan kesehatan.

Menurut Irfan, materi dalam kegiatan ini disampaikan oleh sejumlah narasumber yang kompeten di bidangnya. Di antaranya adalah Eva Yohana, seorang aktivis lingkungan yang dikenal aktif dalam isu pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Selain itu, hadir pula Indra Bening dari Saguling dan perwakilan staf ahli Pokja dari TP PKK tingkat kabupaten.

“Kita juga mengundang Ketua TP PKK Kabupaten Bandung Barat, Ibu Syahnaz Sadiqah, untuk bisa hadir dan memberikan arahan langsung. Kehadiran beliau sangat kita harapkan sebagai bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap inisiatif pengelolaan sampah dari tingkat rumah tangga,” tambah Irfan.

Lebih jauh, Irfan menjelaskan bahwa kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kabupaten Bandung Barat saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Karena itu, dibutuhkan upaya pengurangan beban sampah dari hulu, yaitu dari rumah tangga. Di sinilah peran strategis ibu-ibu kader PKK sangat dibutuhkan.

“Program ini mengandalkan edukasi dari rumah ke rumah. Ketua TP PKK di desa menjadi kepanjangan tangan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk mengedukasi masyarakat di tingkat RT dan RW. Edukasi utamanya adalah bagaimana memilah sampah dari sumbernya, agar tidak semuanya berakhir ke TPA,” jelas Irfan.

Dalam praktiknya, pengelolaan sampah rumah tangga akan dilakukan melalui pemilahan antara sampah organik dan anorganik. Sampah organik seperti sisa makanan atau daun-daunan bisa diolah menjadi kompos. Sedangkan sampah anorganik seperti plastik, kaleng, dan kertas, jika dikelola dengan baik, bisa memiliki nilai ekonomis.

“Ini juga sejalan dengan kebijakan nasional dan peraturan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, semua warga negara wajib memilah sampahnya sejak dari rumah,” terang Irfan.

Menurutnya, pengelolaan sampah tidak hanya menyangkut isu kebersihan dan kesehatan, tetapi juga berkaitan erat dengan ekonomi sirkular. Sampah anorganik yang dikumpulkan dan diolah dengan tepat bisa menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarga.

“Kalau ini berjalan baik, maka akan muncul sirkulasi ekonomi baru di tingkat desa. Dari rumah tangga yang disiplin memilah, sampah bisa diproses menjadi barang bernilai jual. Dengan begitu, kita tak hanya menjaga lingkungan tapi juga memberdayakan ekonomi lokal,” pungkasnya.

Kegiatan ini menjadi salah satu langkah awal yang konkret untuk memperkuat peran perempuan dalam pelestarian lingkungan hidup, sekaligus menjadikan desa sebagai unit strategis dalam mewujudkan pengelolaan sampah berkelanjutan.

Di tengah dinamika pengelolaan lingkungan hidup yang kompleks, sosok Eva Yohana tampil sebagai pemimpin yang konsisten mengutamakan partisipasi perempuan dalam isu pengelolaan sampah. Sebagai Sekretaris Jenderal Forum Bank Sampah Jawa Barat (FBJ), Eva tidak hanya berperan sebagai organisator, namun juga sebagai fasilitator ide-ide perubahan yang lahir dari akar rumput. Dalam berbagai seminar dan webinar—termasuk pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2025—Eva kerap menekankan bahwa perubahan perilaku dalam pengelolaan sampah harus dimulai dari rumah.

Melalui pendekatan edukatif, Eva mengajak ibu-ibu PKK, kader posyandu, dan penggerak lingkungan di desa untuk membangun kesadaran baru: bahwa sampah bukan hanya persoalan teknis, melainkan isu budaya dan pembiasaan. Dalam sesi moderasinya bersama narasumber dari akademisi hingga aktivis lingkungan, Eva menyampaikan pentingnya edukasi berjenjang—dari rumah tangga ke RT, dari desa ke kecamatan—sebagai pondasi bagi keberhasilan program zero waste.

Penalaran Eva berangkat dari fakta di lapangan: tempat pembuangan akhir (TPA) kian padat, sementara kapasitas pengolahan di hilir tidak sebanding dengan volume sampah harian. Oleh karena itu, ia mempromosikan strategi pemilahan sampah berbasis rumah tangga sebagai solusi paling realistis dan berkelanjutan. Konsep ini diperkuat oleh ajakan kolaboratif kepada pemerintah daerah, komunitas bank sampah, dan sektor swasta untuk membentuk ekosistem pengelolaan sampah terpadu dan ekonomis.

Eva meyakini, ketika perempuan diberi ruang untuk memimpin gerakan lingkungan, maka efeknya akan menjalar ke semua lini kehidupan sosial: dari keluarga, ekonomi rumah tangga, hingga tatanan masyarakat desa yang lebih sehat dan mandiri.

Sementara itu, dari tepian Waduk Saguling yang sarat cerita ekologis, nama Indra Darmawan atau yang dikenal sebagai Indra Bening Saguling, menjelma sebagai motor penggerak perubahan yang bersumber dari komunitas. Melalui Bening Saguling Foundation (BSF) yang ia dirikan, Indra menjalankan model pengelolaan sampah berbasis pemberdayaan—bukan sekadar pengangkutan dan pembuangan.

Dalam berbagai forum diskusi dan seminar, Indra selalu menekankan pentingnya pendekatan “pendidikan ekologis berbasis nilai”. Menurutnya, membangun kesadaran tidak cukup hanya dengan sosialisasi teknis, tetapi harus menyentuh aspek nilai, ekonomi, dan masa depan keluarga. Inilah sebabnya ia memadukan sekolah alam, taman baca, dan program edukasi sampah dalam satu ekosistem belajar untuk masyarakat di sekitar Saguling.

Penalaran Indra dibangun dari data dan pengalaman lapangan. Ia mencatat bahwa sedimentasi di Waduk Saguling bukan hanya soal sampah, tapi soal ketimpangan sosial dan kurangnya edukasi dasar. Maka, lewat BSF, ia tidak hanya memobilisasi pemulung, tetapi juga menyediakan insentif pendidikan: anak-anak bisa bersekolah dengan “membayar” menggunakan sampah rumah tangga yang dipilah.

Indra juga memperkenalkan sistem ekonomi sirkular lokal, di mana sampah anorganik diproses menjadi produk kerajinan atau bahan bangunan daur ulang. Di sini, warga tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek aktif dalam menciptakan nilai ekonomi baru dari sisa konsumsi harian.

Berkat konsistensinya, BSF menjadi rujukan bagi akademisi, pemerintah, hingga pegiat lingkungan internasional. Indra membuktikan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten, disertai kepemimpinan yang hadir di tengah masyarakat, bukan dari balik meja birokrasi.

Dua Sosok, Satu Visi: Dari Rumah ke Desa, Dari Komunitas ke Kebijakan

Eva Yohana dan Indra Darmawan mewakili dua kutub pendekatan yang saling melengkapi: Eva dengan kekuatan kelembagaan dan gerakan perempuan, Indra dengan pendekatan komunitas dan nilai lokal. Keduanya mendorong satu visi: pengelolaan sampah harus dimulai dari sumber, dilandasi kesadaran, dan dikelola oleh masyarakat itu sendiri.

Mereka hadir bukan sekadar menyuarakan perubahan, tetapi menghadirkan bentuk nyatanya—baik dalam seminar maupun di lapangan. Jika kebijakan lingkungan hendak dijalankan dengan efektif, maka suara seperti Eva dan Indra perlu diberi ruang lebih besar dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya.(Nuka)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *