Kabupaten Bandung Barat – Ada satu jenis jalan yang tak pernah usang oleh waktu: jalan berlubang penuh harap. Di Desa Mukapayung, keajaiban aspal terakhir kali terjadi pada 2009, kala presiden masih dijabat Susilo Bambang Yudhoyono dan Bupati Abu Bakar masih aktif. Sejak saat itu, jalanan lebih sering mengundang lompatan kendaraan daripada janji perbaikan.
Sementara 12 ruas jalan di luar desa ini sudah mendapat sentuhan penuh cinta dari Bupati Bandung Barat yang sekarang, Mukapayung seolah hanya cukup puas menjadi catatan kaki dalam dokumen Musrenbang. Padahal, alokasi terbesar diajukan desa ini justru untuk satu hal: memperbaiki urat nadi warganya.

Sudah 16 tahun berselang, tiga kali pesta demokrasi digelar, namun aspal baru seperti mitos yang diwariskan turun-temurun. Tragisnya, bahkan di depan kantor kepala desa sendiri, lubang-lubang jalan tetap tegak berdiri seolah mengawasi hilir mudik warga yang sudah kehabisan kata-kata.

Dengan populasi 13.500 jiwa tersebar di 20 RW dan empat dusun, Desa Mukapayung bukan sekadar tempat bermukim. Ia adalah sentra konveksi nasional: mulai dari sabuk TNI hingga pet polisi, dari sepatu hingga seragam. Tapi sayangnya, distribusi hasil produksinya kerap tersendat bukan karena kurangnya SDM, melainkan lubang jalan yang lebih banyak dari tanda tanya publik.

Pada Pemilu 2024, masyarakat desa ini tidak diam. Mereka memilih pasangan Jeje Ritchie Ismail dan Asep Ismail. Ironis, kini para pemilih itu justru bertanya-tanya: apakah perbaikan jalan hanya berlaku bagi konstituen yang lebih ‘menarik’?

Proposal perbaikan jalan ke Provinsi Jawa Barat sudah diajukan sejak Maret 2025. Namun hingga kini, senyap tak berbalas. Seperti mengirimkan surat cinta ke kekasih yang sudah pindah alamat.
Ruas-ruas yang diajukan mencakup:
- Mukapayung – Kidang Pananjung (7 km)
- Ranca Panggung – Puncak Mulya – Batas Kota Waringin (4,5 km)
- Ciririp – Bangsaya – Buninagara – Batas Ciwidey (10 km)
Dari hasil survei di lapangan, dengan dokumentasi video yang tak bisa disangkal, akses ke Cikoneng dan Kota Waringin, juga ke Puncak Mulya, tak layak disebut “jalan”. Lebih cocok disebut rekonstruksi masa lalu, mengingat kondisinya seperti tahun 1960-an. Empat kilometer rusak parah di jalur vital 3 RW, dengan 1.200 warga menggantungkan mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan pada infrastruktur yang telah lama dicueki.
Arah ke Lembang di perbatasan Kidang Pananjung pun tak kalah menyedihkan. Lima RW dengan 2.500 jiwa harus berurusan tiap hari dengan jalan yang lebih cocok disebut medan uji nyali. Total 5–7 km tak layak pakai. Dan seolah belum cukup, warga akhirnya mengambil jalan keluar, secara harfiah ; dengan menyiram berangkal sebagai solusi darurat yang sayangnya hanya bertahan sampai debu kembali berkuasa.
Sementara daerah lain melaju dengan mulus, Mukapayung hanya bisa menatap penuh harap. Atau barangkali, lebih tepatnya, menatap lubang-lubang yang semakin dalam, dan makna yang semakin kosong dari kata “pembangunan merata”.
Andi/Nuka.
.