Kabupaten Bandung Barat kembali menunjukkan komitmennya terhadap tata kelola keuangan yang prudent melalui pengesahan rancangan perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2025 dalam Rapat Paripurna DPRD yang digelar pada Kamis (31/7/2025). Kesepakatan ini tidak hanya menandai pencapaian teknis administratif, namun juga merefleksikan strategi jangka panjang untuk mencapai kemandirian fiskal di tengah dinamika ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Dalam sambutannya, Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail menegaskan filosofi yang mendasari penyusunan anggaran daerah. “Saya ingin mengajak kita semua untuk melihat bahwa kebijakan dan anggaran bukan sekadar angka, tetapi cermin keberpihakan kepada rakyat. Setiap rupiah yang direncanakan harus menjawab kebutuhan masyarakat, terasa manfaatnya secara nyata, merata, dan menyentuh akar rumput,” tegas Jeje.

Pernyataan ini menggarisbawahi paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah yang tidak lagi terpaku pada pencapaian target administratif, melainkan berorientasi pada dampak riil bagi kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan visi Kabupaten Bandung Barat yang “AMANAH” — Agamis, Maju, Adaptif, Nyaman, Aspiratif, dan Harmonis.
Optimisme di Balik Target Ambisius
Sementara itu, Ketua DPRD KBB Muhammad Mahdi K. dalam wawancara terpisah mengungkap ambisi besar untuk mencapai target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp1 triliun pada tahun 2026. Target yang terbilang ambisius ini menunjukkan optimisme pemerintah daerah terhadap potensi ekonomi lokal, sekaligus mencerminkan upaya serius untuk mengurangi ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat dan provinsi.

Mahdi menyoroti beberapa tantangan struktural yang masih menghadang. “Banyak tempat wisata yang akhirnya dihentikan operasinya, sehingga mengurangi potensi pemasukan,” ungkap Mahdi terkait dampak kebijakan legalitas pariwisata dari pemerintah provinsi. Pernyataan ini mengindikasikan adanya ketegangan antara penegakan regulasi dan optimalisasi potensi ekonomi daerah.
Kebijakan penutupan tempat wisata yang belum berizin, meskipun bertujuan baik untuk menjamin keselamatan dan kelestarian lingkungan, nyatanya berdampak pada penurunan kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD. Hal ini menjadi dilema klasik antara compliance terhadap regulasi dan upaya peningkatan pendapatan daerah.

Diversifikasi Sumber Pendapatan: Antara Potensi dan Realitas
Upaya diversifikasi sumber PAD menjadi kunci dalam strategi KBB menuju kemandirian fiskal. Mahdi secara khusus menyoroti dua sektor potensial: pertambangan dan kawasan komersial seperti Kota Baru. “Kami pastikan tidak ada yang dipersulit,” katanya terkait perizinan pertambangan, mencoba membangun iklim investasi yang lebih kondusif.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kompleksitas yang tidak sederhana. Potensi pendapatan dari kawasan Kota Baru, termasuk retribusi parkir, masih belum tergarap maksimal. Meskipun telah ada kontribusi dari beberapa entitas seperti Mason Pine, pengelola kawasan masih berdalih bahwa area tersebut sedang dalam tahap promosi dan pengembangan.

Fenomena ini mencerminkan tantangan umum yang dihadapi banyak daerah dalam mengoptimalkan potensi ekonomi kawasan baru. Di satu sisi, pengembang membutuhkan waktu untuk membangun ekosistem komersial yang matang. Di sisi lain, pemerintah daerah mengharapkan kontribusi yang proporsional terhadap fasilitas dan infrastruktur yang telah disediakan.
Efisiensi Belanja di Tengah Tekanan Inflasi
Aspek lain yang tidak kalah krusial adalah manajemen belanja daerah. Bupati Jeje dalam sambutannya menekankan pentingnya “efisiensi belanja” sebagai bagian dari strategi fiskal. Mahdi mengakui bahwa belanja daerah meningkat setiap tahun, baik karena faktor harga maupun kebutuhan yang makin kompleks.

Tekanan inflasi dan dinamika harga global turut mempengaruhi struktur pengeluaran daerah. Dalam konteks ekonomi makro nasional, target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 ialah sebesar 5,8% sampai dengan 6,3%, yang memberikan ruang optimisme bagi pertumbuhan ekonomi daerah namun juga menuntut kehati-hatian dalam pengelolaan fiskal.
Untuk menghadapi tantangan ini, DPRD bersama dinas-dinas teknis terus berupaya melakukan efisiensi anggaran. Langkah ini membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak hanya fokus pada peningkatan pendapatan, tetapi juga pada manajemen belanja yang bijak dan terukur.

Prestasi Tata Kelola sebagai Modal Kepercayaan
Salah satu pencapaian yang patut diapresiasi adalah diraihnya predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan KBB. Prestasi ini menunjukkan perbaikan signifikan dalam tata kelola anggaran dan menjadi modal penting untuk meningkatkan kepercayaan publik maupun investor.
Dalam konteks yang lebih luas, pencapaian WTP tidak hanya bermakna administratif, namun juga strategis. Rating ini dapat menjadi leverage untuk memperoleh akses pembiayaan yang lebih baik, baik dari pemerintah pusat maupun lembaga keuangan, yang pada gilirannya dapat mendukung program pembangunan jangka panjang.

Sinergi Legislatif-Eksekutif: Fondasi Stabilitas Politik
Proses pengesahan KUA-PPAS 2025 yang berlangsung kondusif mencerminkan solidnya hubungan antara eksekutif dan legislatif di KBB. Bupati Jeje dalam sambutannya menyampaikan apresiasi tinggi kepada DPRD, khususnya Badan Anggaran yang telah bekerja secara intens bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
“Atas nama pribadi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada unsur pimpinan dan seluruh anggota DPRD,” ujar Bupati Jeje. Sinergi ini menjadi modal politik yang berharga untuk memastikan kontinuitas kebijakan pembangunan.

Implikasi Strategis dan Tantangan ke Depan
Kesepakatan KUA-PPAS 2025 ini memiliki implikasi strategis yang meluas. Pertama, dari sisi fiskal, dokumen ini menjadi blueprint operasional untuk mencapai target PAD Rp1 triliun pada 2026. Kedua, dari sisi politik, kesepakatan ini menunjukkan soliditas koalisi pemerintahan di tingkat daerah.
Namun, tantangan ke depan tetap kompleks. Kondisi perekonomian nasional yang belum sepenuhnya stabil, sebagaimana diakui Mahdi, akan terus mempengaruhi dinamika ekonomi daerah. Selain itu, kebijakan pemerintah pusat dan provinsi dalam berbagai sektor, mulai dari pariwisata hingga pertambangan, akan turut menentukan ruang gerak KBB dalam mengoptimalkan potensi pendapatannya.

Ketidakpastian ekonomi global juga menjadi faktor eksternal yang tidak dapat diabaikan. Fluktuasi harga komoditas, perubahan pola investasi, dan dinamika perdagangan internasional dapat berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap ekonomi lokal KBB.

Menuju Kemandirian Fiskal: Realistis atau Utopis?
Pertanyaan fundamental yang muncul adalah seberapa realistis target kemandirian fiskal KBB di tengah berbagai keterbatasan struktural. Meskipun menunjukkan tren positif, pencapaian target PAD Rp1 triliun pada 2026 membutuhkan akselerasi yang signifikan.
Keberhasilan strategi ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah daerah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, mengoptimalkan potensi sektor-sektor unggulan, dan membangun kolaborasi efektif dengan stakeholder kunci termasuk pengusaha dan masyarakat.

Lebih dari itu, keberlanjutan strategi ini memerlukan konsistensi kebijakan lintas periode kepemimpinan. Investasi dalam infrastruktur ekonomi, peningkatan kapasitas SDM, dan modernisasi sistem administrasi merupakan prasyarat yang tidak dapat ditawar-tawar.
Kesepakatan KUA-PPAS 2025 Bandung Barat pada akhirnya bukan sekadar dokumen teknis, melainkan manifesto political will untuk mewujudkan kemandirian fiskal yang berkelanjutan. Apakah ambisi ini akan terwujud, atau akan menjadi sekedar retorika politik, hanya waktu dan konsistensi implementasi yang akan memberikan jawabannya. Yang pasti, langkah awal telah diambil dengan fondasi yang relatif solid. (Nuka)