Subang, 16 Oktober 2025. Suasana sejuk Desa Cisaat, Kabupaten Subang, terasa berbeda. Puluhan operator perpustakaan dari 25 desa se-Kabupaten Subang berkumpul untuk mengikuti kegiatan Peer Learning Meeting (PLM) atau pembelajaran sebaya yang digagas oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Subang. Acara ini menjadi wadah saling belajar antar pengelola perpustakaan desa, dengan Desa Cisaat sebagai tuan rumah sekaligus lokasi praktik lapangan.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Bidang Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Subang, Gusyeti, yang menyampaikan apresiasinya kepada Pemerintah Desa Cisaat atas kesiapannya menjadi lokasi praktik.
“Desa Cisaat dipilih karena layak dijadikan contoh. Kami melihat kolaborasi antara perpustakaan, masyarakat, dan sektor wisata di sini berjalan dengan baik. Harapannya, peserta bisa mencontoh pola tersebut di desa masing-masing,” ujar Gusyeti saat membuka acara.
Ia menegaskan bahwa perpustakaan desa kini bukan lagi sekadar tempat membaca, melainkan pusat pembelajaran masyarakat yang mampu menggerakkan ekonomi, sosial, dan budaya lokal.
Literasi yang Hidup di Tengah Wisata Edukatif
Sekretaris Desa Cisaat, Aep Sutarya, yang juga menjadi pemateri, membagikan pengalaman desanya mengembangkan konsep literasi berbasis wisata edukatif. Ia menyebut bahwa Cisaat bukan desa istimewa, namun memiliki semangat untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
“Buku adalah jendela dunia, dan tugas kita adalah membuka jendela itu selebar mungkin,” ujarnya.
Menurut Aep, perpustakaan di Desa Cisaat menjadi bagian dari ekosistem wisata edukatif. Kolaborasi yang terjalin dengan universitas dari Jakarta sejak tahun 2020 menghasilkan berbagai program pembelajaran tematik, seperti bioteknologi ternak, ekonomi kreatif, kesenian tradisional, hingga pewarna alami untuk batik.
“Kami ingin setiap pengunjung wisata bukan hanya berlibur, tapi juga belajar. Habis membaca, langsung diteliti, lalu diterapkan,” jelasnya.
Selain itu, Desa Cisaat menawarkan berbagai paket wisata edukatif, mulai dari wisata budaya, agrikultur dan bisnis, alam, religi, hingga olahraga dan rekreasi. Melalui pendekatan ini, perpustakaan menjadi pintu masuk bagi masyarakat dan wisatawan untuk menimba ilmu dari alam dan budaya lokal.
Aep juga menekankan pentingnya tata kelola perpustakaan yang baik, terutama dalam pencatatan buku dan anggota. “Administrasi harus tertib, jangan sampai buku hilang atau data tidak tercatat. Dari hal kecil itu kita belajar disiplin,” tegasnya.
Dari Buku ke Bisnis: Cerita Perempuan Penggerak Literasi
Salah satu kisah inspiratif datang dari Ai Nurhasanah, Ketua TP-PKK Desa Cisaat, yang membuktikan bahwa membaca dapat mengubah nasib. Ia mengaku awalnya hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang suka membaca buku resep di perpustakaan desa.
“Dari satu buku tentang olahan sayuran, saya belajar membuat keripik bayam. Ternyata dari membaca itu saya bisa punya usaha, bahkan bisa menyekolahkan anak,” ungkapnya haru.
Kini, ia menggerakkan para kader dan ibu-ibu PKK untuk mengikuti jejaknya. Mereka belajar dari buku, kemudian mempraktikkan hasilnya menjadi produk unggulan desa seperti keripik bayam, pisang, dan singkong yang dijual di area wisata.
“Kami ajak masyarakat untuk gemar membaca dulu, baru mempraktikkan hasilnya menjadi usaha. Dari buku, kita bisa belajar cara produksi, pemasaran, hingga pengembangan usaha,” tambah Ai.
Kisah sukses ini membuat Desa Cisaat dilirik oleh berbagai pihak. Bahkan menurut Ai, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sempat menyebut Desa Cisaat sebagai salah satu dari 50 desa wisata terbaik di Indonesia.
Dari Literasi Menuju Kemandirian Desa
Kegiatan PLM ini tidak hanya menjadi ajang berbagi pengetahuan, tetapi juga menjadi refleksi bagi seluruh peserta bahwa literasi memiliki peran penting dalam pembangunan desa. Perpustakaan bukan sekadar tempat buku disimpan, tetapi menjadi ruang transformasi sosial dan ekonomi.
Dengan suhu udara yang sejuk dan bentang alam pertanian serta peternakan yang luas, Desa Cisaat membuktikan bahwa potensi lokal dapat tumbuh dari budaya membaca. “Silakan datang ke desa kami,” tutur Aep Sutarya di akhir pemaparannya, “Anda datang sebagai tamu, pulang sebagai saudara.”
Pesan sederhana itu menggambarkan filosofi masyarakat Cisaat yang terbuka terhadap perubahan, kolaborasi, dan pembelajaran bersama. Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Subang berharap, kegiatan ini dapat menular ke desa-desa lain agar semangat literasi terus hidup di setiap sudut Kabupaten Subang.
Sebagaimana diungkapkan dalam kesimpulan acara ini.
“Perpustakaan bukan hanya tempat membaca, tetapi tempat mempersiapkan masa depan desa. Dari literasi, kita bisa mandiri.”
Melalui Peer Learning Meeting ini, literasi bukan sekadar wacana—tetapi menjadi gerakan nyata menuju desa cerdas, berdaya, dan berbudaya. (aq)