Batujajar, Kabupaten Bandung Barat — Aktivitas penambangan pasir di wilayah Desa Selacau, Kecamatan Batujajar, kembali menuai sorotan tajam dari masyarakat. Keluhan bermunculan terkait dampak langsung yang ditimbulkan oleh truk-truk pengangkut pasir yang hilir mudik melewati jalan kabupaten di kawasan padat penduduk, termasuk di depan SD Negeri Selacau—lokasi utama pendidikan dasar bagi ratusan anak-anak.
Kegiatan Belajar Terganggu, Debu Masuk ke Ruang Kelas
Setiap hari, sejak pagi hingga sore, deru mesin dan getaran akibat truk-truk tambang yang melintas menjadi pemandangan biasa. Namun, bagi guru dan murid SD Negeri Selacau, situasi ini bukan hanya mengganggu proses belajar-mengajar, tapi juga mengancam kesehatan.
“Setiap kali truk lewat, debu langsung beterbangan. Kami sering harus menutup pintu dan jendela saat pelajaran berlangsung, padahal ruang kelas jadi terasa pengap. Anak-anak sering batuk-batuk,” ujar salah satu guru yang enggan disebutkan namanya.

Para orang tua siswa pun menyuarakan kekhawatiran serupa. Mereka menilai bahwa perusahaan tambang mengabaikan dampak sosial dan lingkungan, serta tidak memperhatikan keselamatan anak-anak dan kenyamanan warga sekitar.
Jalan Kabupaten Rusak Parah, Diduga Akibat Truk Melebihi Tonase
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa jalan kabupaten di sepanjang jalur tambang mengalami kerusakan berat. Aspal yang sebelumnya mulus kini penuh lubang dan retakan, bahkan sebagian titik menjadi rawan kecelakaan saat hujan turun. Warga menduga kerusakan ini diakibatkan oleh truk-truk yang mengangkut pasir dan batu melebihi batas tonase.
Ketiadaan pengawasan terhadap beban kendaraan serta intensitas operasional yang tinggi diduga menjadi penyebab utama rusaknya infrastruktur yang dibiayai dari pajak rakyat.
Sikap dan Upaya Pemerintah Desa
Pemerintah Desa Selacau menegaskan bahwa mereka tidak tinggal diam. Menurut informasi dari pihak desa, aktivitas perusahaan tambang galian C di wilayah mereka sudah berlangsung sejak tahun 2014. Sejak itu, pihak desa telah beberapa kali menghimbau perusahaan agar memperhatikan dampak lingkungan serta melakukan perbaikan jalan kabupaten yang terdampak operasional mereka.
“Kami dari pemerintah desa sudah berulang kali menghimbau perusahaan tambang untuk memperhatikan lingkungan dan kondisi jalan kabupaten yang dilalui truk mereka. Jalan itu memang merupakan kewenangan pemerintah kabupaten, namun perusahaan tambang pun harus ikut memelihara jalan.
Tak hanya itu, pemerintah desa setiap tahun sejak 2019 secara resmi telah mengusulkan pembangunan dan perbaikan jalan kabupaten melalui mekanisme Musrenbang dari tingkat desa hingga kecamatan dan kabupaten. Namun, hingga saat ini, belum ada tindak lanjut konkret dari pihak berwenang terhadap usulan tersebut.
Dasar Hukum: Kewajiban Pengusaha Tambang terhadap Infrastruktur dan Lingkungan
Kewajiban perusahaan tambang untuk menjaga infrastruktur dan lingkungan sekitar diatur dalam berbagai regulasi. Di antaranya:
UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Pasal 96C: Pemegang IUP wajib membangun sarana prasarana penunjang serta mengelola dampak lingkungan dan sosial.
PP No. 96 Tahun 2021: Jika perusahaan menggunakan jalan umum, mereka wajib memelihara dan memperbaiki kerusakan akibat operasional tambang.
Permen ESDM No. 26 Tahun 2018: Perusahaan tambang harus menjamin keselamatan lalu lintas dan mengendalikan polusi debu dari aktivitas kendaraan tambang.
Keberadaan truk tambang yang merusak jalan dan menyebabkan polusi — terutama di depan sekolah — merupakan pelanggaran nyata terhadap kewajiban tersebut.
Sanksi Hukum bagi Pengusaha Tambang yang Lalai
UU Minerba mengatur sanksi tegas terhadap pelanggaran kewajiban lingkungan dan sosial. Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
Bahkan bagi perusahaan yang sudah mengantongi izin, jika tidak memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan, dapat dikenai:
Sanksi administratif (teguran, penghentian, pencabutan izin),
Tuntutan hukum berdasarkan pelanggaran hak atas lingkungan sehat (Pasal 28H ayat 1 UUD 1945),
Evaluasi izin oleh pemerintah provinsi sebagai otoritas pemberi IUP.
Pajak dan CSR Bukan Alasan untuk Menghindari Tanggung Jawab
Pihak perusahaan tambang sering berdalih bahwa mereka telah membayar pajak dan menjalankan program CSR. Namun bagi warga, itu tidak sebanding dengan dampak yang mereka rasakan.
“CSR mereka hanya sekadar bantuan kecil untuk acara kampung. Tapi jalan rusak dan debu di sekolah tidak pernah diurus. Truk lalu-lalang, anak-anak jadi korban. Ini bukan tanggung jawab sosial, ini pembiaran,” kata seorang tokoh RW setempat.
Warga menegaskan bahwa pajak adalah kewajiban negara, bukan bentuk pengganti atas kerusakan, dan CSR bukan pembenaran untuk mengabaikan dampak operasional.
Tuntutan Masyarakat dan Harapan terhadap Pemerintah
Warga Desa Selacau kini menuntut langkah tegas dari pemerintah kabupaten dan provinsi, khususnya:
Dinas ESDM,
Dinas Perhubungan,
Dinas Lingkungan Hidup, dan
Dinas Pekerjaan Umum,
untuk segera turun ke lapangan, mengevaluasi dampak, memeriksa kepatuhan perusahaan, serta menindak pelanggaran.
Masyarakat juga menuntut:
Dibangunnya jalan khusus untuk truk tambang agar tidak melalui area permukiman dan sekolah,
Pembatasan beban kendaraan sesuai aturan tonase,
Penyiraman dan pengendalian debu setiap hari,
Evaluasi dan pencabutan izin apabila terbukti terjadi kelalaian berulang.
Akhir Kata: Jangan Korbankan Anak-anak Demi Tambang
Apa arti pembangunan jika masa depan anak-anak digadaikan oleh debu dan jalan rusak? Apa gunanya kekayaan alam jika hasilnya menciptakan penderitaan bagi warga yang hidup di sekitarnya?
Sudah saatnya perusahaan tambang berhenti berlindung di balik angka pajak dan simbol CSR. Yang dibutuhkan masyarakat adalah tanggung jawab nyata. Dan yang dibutuhkan oleh anak-anak Selacau adalah udara bersih, ruang belajar nyaman, dan jalan aman untuk menuju masa depan.