Geopolitik Panas: Kalkulasi Rusia dan China Jika AS Gempur Iran serta dampak Langsung dan Tidak Langsung bagi Indonesia.

Blog Nasional

Spekulasi mengenai potensi keterlibatan Amerika Serikat dalam serangan terhadap fasilitas nuklir Iran kian memanas. Pernyataan Presiden Donald Trump pada Rabu pekan ini yang samar, “mungkin ya, mungkin tidak,” saat ditanya wartawan, justru memicu beragam interpretasi. Di tengah desakan kuat dari kubu domestik AS yang pro-serangan, sebagian lainnya menentang keras intervensi militer Washington dalam konflik tersebut.
Meski janji elektoralnya pada Pemilu 2024 adalah menghindari perang yang dirancang pihak lain, kemungkinan Trump menyeret AS ke dalam konflik ini tetap terbuka. Namun, ia juga bisa memilih untuk teguh pada komitmennya. Yang pasti, Israel, khususnya rezim Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, tak pernah menyembunyikan ambisinya untuk menyeret AS. Hal ini mengingat Israel mustahil menundukkan Iran sendirian.
Ambisi Netanyahu melampaui sekadar pelucutan program nuklir Iran, bahkan hingga mempertimbangkan skenario pembunuhan Pemimpin Spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei. Presiden Turki Recep Erdogan dan pakar internasional seperti Behnam Ben Taleblu dari Foundation for Defense of Democracies, sepakat bahwa proyek rezim Netanyahu ini lebih dari sekadar operasi anti-proliferasi. “Sejak awal, berdasarkan sasaran dan pesan publik yang disampaikan Israel, sudah jelas operasi ini lebih dari sekadar operasi anti-proliferasi (senjata nuklir),” terang Ben Taleblu kepada laman berita Vox.
Netanyahu secara terang-terangan menginginkan “pergantian rezim” di Iran, serupa dengan penggulingan Saddam Hussein di Irak pada 2003. Dalihnya pun sama: mencegah penyebaran senjata nuklir, yang dalam kasus Saddam terbukti kebohongan besar. Kini, dalih serupa akan digunakan terhadap Iran, dengan taktik yang mirip dengan yang dilakukan Presiden AS George Bush kala itu.
Ironisnya, dasar argumentasi untuk menginvasi Iran tetaplah lemah, sama seperti dalih yang dipakai untuk menggulingkan Saddam Hussein pada 2003. Direktur Intelijen Nasional AS Tulsi Gabbard bahkan menyatakan Iran masih membutuhkan bertahun-tahun untuk memproduksi senjata nuklir. Namun, Trump mengabaikan penilaian kabinetnya dan bersikukuh bahwa Iran berada di ambang produksi senjata nuklir. Israel, apalagi. Netanyahu menggunakan kesimpulan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebagai dalih untuk menyerang Iran pada 12 Juni 2025, yang kemudian memicu balasan dari Teheran hingga kini.
Posisi Strategis Iran
IAEA sendiri hanya menyatakan bahwa Iran tidak melanggar kesepakatan dengan tidak menjawab pertanyaan seputar fasilitas nuklir yang tidak dilaporkan. Namun, IAEA tidak menyimpulkan bahwa Iran berada di ambang penguasaan senjata nuklir, seperti yang diyakini Netanyahu dan Trump.
Terlepas dari itu, jika Trump dan Netanyahu terus melanjutkan rencana untuk mengubur impian nuklir Iran, yang nantinya akan sulit dipisahkan dari niat menggulingkan pemerintahannya, pertanyaan besar muncul: apakah upaya itu akan semudah mendongkel Saddam Hussein pada 2003?
Banyak kalangan meragukan hal tersebut, meskipun Trump telah memerintahkan armada militer AS mendekati Iran. Situasi Iran saat ini berbeda dengan Irak pada 2003. Kala itu, banyak negara Timur Tengah terlibat dalam memerangi Irak. Namun kini, situasi serupa sulit terulang, termasuk Arab Saudi yang sejak dua tahun lalu telah menormalisasi hubungan diplomatik dengan Iran.
Iran juga memiliki kemampuan perlawanan yang lebih kuat dibandingkan Saddam Hussein. Bukti terbaru adalah hujan rudal yang belakangan menghantam kota-kota Israel, padahal selama bertahun-tahun Iran dijerat sanksi yang seharusnya membatasi akses mereka ke pasar teknologi perang dan persenjataan global. Sepanjang sejarah Israel, belum ada yang mampu menyerang jauh ke dalam wilayahnya, kecuali Iran saat ini.
Namun, ada kartu lain yang tidak dalam genggaman AS dan Israel: Iran telah menjadi bagian dari jejaring pengaruh global Rusia dan China.
Presiden Vladimir Putin, yang pada 15 Januari 2025 menandatangani Pakta Kemitraan Strategis bersama Presiden Iran Masoud Pezeshkian, tentu tak ingin kehilangan sekutu Rusia yang tersisa di Timur Tengah setelah Bashar al-Assad tumbang tahun lalu di Suriah. Posisi Iran terlalu istimewa di mata Rusia, meskipun di masa lalu mereka sering terlibat perang.
Terletak di selatan Rusia dan berdekatan dengan negara-negara tetangga Rusia yang berusaha menjauhi Moskow, Iran sangat instrumental bagi Rusia. Bahkan, negara ini membantu Rusia dalam perang dengan Ukraina. Putin akan sulit menerima rezim baru Iran yang condong ke Barat, karena itu sama artinya merusak kepentingan global Rusia dan sekaligus mengurung Rusia. Secara geografis, Iran cukup dekat dengan negara-negara bekas Uni Soviet, termasuk Georgia, yang hingga kini tak memadamkan hasrat bergabung dengan NATO dan Uni Eropa.
Sikap Tegas Rusia dan China
Skenario Iran yang pro-AS juga membahayakan kepentingan Rusia di Asia Tengah dan Kaspia yang tepinya berbatasan dengan Azerbaijan, Turkmenistan, dan Kazakhstan, yang semuanya vital bagi kepentingan nasional dan keamanan Rusia. Maka, jika Iran dirontokkan, itu sama artinya membuat Rusia merasa makin terkepung, padahal negara ini sudah direpotkan oleh perang di Ukraina, dan di tepi barat perbatasan mereka dihadapkan dengan negara-negara NATO yang sebagian besar bekas Uni Soviet dan eks Pakta Warsawa, kecuali Finlandia. Oleh karena itu, pergantian rezim di Iran sama artinya dengan mengisolasi Rusia pada tingkat yang lebih ekstrem.
Bukan hanya Rusia yang berpikir demikian, China juga akan merasa dirugikan secara politik dan ekonomi. Menurut data perusahaan komoditas Kypler, China adalah konsumen terbesar ekspor minyak Iran, yang pada dasarnya tidak dapat dilakukan karena tengah dijatuhi sanksi oleh AS dan Barat. Kypler melaporkan bahwa 90 persen ekspor minyak mentah Iran disalurkan ke China. Data impor dari Iran ini tidak masuk data resmi, dan dari data resmi, Rusia, Arab Saudi, Malaysia, Irak, dan Uni Emirat Arab, adalah enam pemasok minyak utama untuk China.
Lebih dari sekadar minyak, posisi Iran di mata China juga krusial dalam konteks geopolitik, terutama dalam kerangka Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). Sebagai penghubung ke Timur Tengah untuk kemudian Afrika dan Eropa Tenggara, Iran memang terlalu penting bagi China. Dari perspektif ini, Iran yang menjauh dari China, akan menutup akses China ke Timur Tengah, dan akhirnya Afrika serta Eropa. Iran berbatasan dengan Irak bagian Barat, dan dengan Azerbaijan, Armenia, Turki, serta Laut Kaspia di bagian utara. Iran juga berbatasan dengan Turkmenistan, Afghanistan, dan Pakistan di bagian timur, sedangkan bagian selatannya berbatasan dengan Teluk Persia yang menjadi aorta perdagangan minyak global.
Untuk itu, skenario Iran yang tidak dekat dengan Rusia dan China akan sulit diterima oleh kedua negara raksasa ini. Akibatnya, akan sangat wajar jika China dan Rusia tidak akan berpangku tangan jika AS ikut campur menyerang Iran.
Potensi Eskalasi Global dan Aliansi yang Mengemuka
Jika konfrontasi militer terbuka pecah antara Iran dan Israel yang didukung Amerika Serikat, skenario bantuan langsung dari kekuatan global lainnya tidak dapat dikesampingkan. Rusia, dengan kepentingannya yang besar di Timur Tengah dan Asia, kemungkinan besar akan memberikan dukungan signifikan kepada Iran, baik dalam bentuk pasokan senjata canggih, bantuan intelijen, atau bahkan dukungan siber. Hubungan militer dan strategis antara Moskow dan Teheran telah terbukti kokoh, terutama dalam menghadapi tekanan Barat.
Sementara itu, China, sebagai mitra ekonomi terbesar Iran dan pemain kunci dalam ambisi Jalur Sutra Baru, akan merasakan dampak langsung dari destabilisasi kawasan. Dukungan Beijing mungkin tidak selalu dalam bentuk militer langsung, melainkan melalui bantuan ekonomi, diplomatik, atau bahkan transfer teknologi pertahanan yang lebih canggih. China akan berusaha melindungi kepentingan ekonominya dan menjaga stabilitas rute perdagangan vital yang melewati kawasan tersebut.
Tidak kalah penting, Korea Utara juga dapat muncul sebagai pemain yang berpotensi mendukung Iran. Meskipun secara geografis jauh, Pyongyang memiliki sejarah panjang dalam pengembangan teknologi rudal dan nuklir yang sering kali melibatkan kerja sama dengan negara-negara yang diembargo Barat. Dalam sebuah konflik terbuka, Korea Utara bisa menawarkan keahlian teknis, pasokan persenjataan tertentu, atau bahkan mengalihkan perhatian AS di Pasifik, yang secara tidak langsung menguntungkan Iran.
Keterlibatan langsung dari Rusia, China, dan Korea Utara dalam mendukung Iran, melawan poros AS-Israel, akan mengubah konflik regional menjadi potensi konfrontasi global yang jauh lebih besar. Ini bukan lagi sekadar perang proxy, melainkan pertempuran langsung antar-blok kekuatan.
Dampak Langsung dan Tidak Langsung bagi Indonesia


Bagi Indonesia, sebuah perang yang meluas di Timur Tengah akan membawa dampak nyata dan mendalam, baik secara langsung maupun tidak langsung:

  • Kenaikan Harga Minyak Dunia dan Inflasi: Ini adalah dampak paling langsung. Indonesia sebagai net importir minyak akan sangat terpukul oleh kenaikan harga minyak mentah. Biaya produksi dan logistik akan meningkat drastis, memicu inflasi yang dapat menggerus daya beli masyarakat. Subsidi energi yang membengkak juga akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
  • Guncangan Pasar Keuangan Global dan Rupiah: Investor cenderung akan mencari aset-aset “aman” seperti dolar AS, menyebabkan pelemah nilai tukar Rupiah terhadap dolar. Hal ini dapat memicu capital outflow atau keluarnya modal asing dari Indonesia, mengurangi likuiditas pasar dan mengancam stabilitas sistem keuangan nasional. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemungkinan besar akan terkoreksi tajam.
  • Gangguan Rantai Pasok Global: Konflik di Selat Hormuz, yang merupakan arteri vital perdagangan minyak global, akan mengganggu jalur pelayaran dan pasokan barang secara signifikan. Banyak kapal harus memutar rute melalui Afrika, menambah waktu tempuh dan biaya pengiriman. Ini akan berdampak pada kelangkaan barang impor dan kenaikan harga barang konsumsi di Indonesia.
  • Tekanan Terhadap Cadangan Devisa: Pelemahan Rupiah dan kebutuhan impor yang mahal akan menekan cadangan devisa Indonesia, yang sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi.
  • Pelemahan Pertumbuhan Ekonomi: Kombinasi dari inflasi tinggi, guncangan pasar keuangan, dan gangguan rantai pasok akan menghambat aktivitas ekonomi dan investasi, berpotensi menyeret pertumbuhan ekonomi Indonesia ke bawah target, bahkan mendorong resesi global yang juga akan menyeret Indonesia.
  • Dampak Sosial: Kenaikan harga kebutuhan pokok dan melemahnya daya beli masyarakat berpotensi menimbulkan gejolak sosial di dalam negeri.
  • Risiko Geopolitik Regional: Meskipun jauh, ketegangan global yang meningkat akibat konflik ini dapat memengaruhi dinamika keamanan di kawasan Asia Tenggara, menuntut Indonesia untuk lebih waspada dan mengambil peran diplomasi yang lebih aktif.
    Singkatnya, sebuah perang yang meluas di Timur Tengah akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dan sosial Indonesia, menuntut pemerintah untuk menyiapkan strategi mitigasi yang komprehensif dan cepat.

(Red) dikutip dan dirangkum dari berbagai sumber.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *