Sukajaya, 20 Juli 2025 – Di tengah arus modernisasi yang kian deras, warga RW 14 Kampung Pamecelan, Desa Sukajaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa tradisi bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan fondasi sosial yang terus hidup dan relevan. Melalui peringatan Milangkala ke-8 Hajat Lembur, yang berlangsung bertepatan dengan 25 Muharam 1447 H, masyarakat setempat memperlihatkan kekuatan gotong royong, pelestarian budaya lokal, dan ikhtiar spiritual dalam satu tarikan napas.
Klik tombol foto dibawah untuk lihat foto dokumentasi
Dengan mengusung motto Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, kegiatan ini bukan hanya agenda rutin tahunan, tetapi juga memiliki implikasi strategis sebagai wahana penguatan kohesi sosial dan transmisi nilai-nilai budaya Sunda yang mulai tergerus zaman.

Ruatan sebagai Instrumen Kebersamaan
Kegiatan dibuka dengan istighosah dan doa bersama yang dipimpin oleh Ustadz Taufik dan Hendar. Nuansa religius dan khidmat terasa kental, menggambarkan bagaimana spiritualitas menjadi pondasi utama dalam kehidupan masyarakat Sunda pedesaan.
Kepala Desa Sukajaya, Asep Jembar Rahmat, menyebutkan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk rasa syukur atas berkah yang diberikan Tuhan, serta momen penting untuk memperkuat ikatan antarwarga. “Makna dari kegiatan ini adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang masih diberikan kepada kita. Dengan adanya acara ini, kebersamaan dan tali silaturahmi di wilayah RW 14 semakin erat,” ujarnya dalam wawancara.
Kegiatan yang berlangsung dari pagi hingga malam ini diisi dengan doa bersama, makan bersama dalam format botram, pentas seni, dan pemberian amplop kepada anak-anak. “Kalau istilah Sundanya, silih asah, silih asih, silih asuh. Ibu membawa sesuatu, saya membawa yang lain. Kita bisa saling berbagi,” tambah Asep. Format ini menciptakan ruang interaksi antarwarga lintas usia dan latar sosial, memperkuat rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama terhadap komunitas.

Dimensi Kultural dan Filosofis: Sunda sebagai Identitas Hidup
Lebih dari sekadar perayaan, acara ini sarat makna kultural dan filosofis. Menurut pemuka adat Abah Amang Rusmana dan Abah Sundana, Hajat Lembur merupakan ekspresi lokal dari konsep harmoni kosmis antara manusia dan alam. “Hajat bukan sekadar seremoni, tetapi mengandung makna mendalam tentang hak dan keseimbangan alam,” ungkap Abah Sundana.

Dalam pandangan tradisional Sunda, manusia tidak berdiri terpisah dari unsur-unsur alam—bumi, air, angin, dan api, melainkan bagian darinya. Filosofi “mulih ka jati, mulang ka asal” (kembali ke jati diri dan asal mula) menjadi prinsip dasar dalam hubungan antara manusia, Tuhan, dan lingkungan.

Lebih lanjut, acara ini juga menjadi ruang aktualisasi nilai-nilai spiritual Islam yang menyatu dengan budaya lokal. “Keselarasan antara ajaran Islam dan budaya Sunda menjadi kekuatan moral dan sosial masyarakat,” kata Abah Amang. Penekanan ini memperlihatkan bagaimana identitas Sunda bukan entitas terpisah dari keyakinan religius, melainkan selaras dan saling memperkuat.

Strategi Ketahanan Sosial dan Lingkungan
Implikasi strategis dari kegiatan semacam ini tak dapat diabaikan. Dalam konteks pembangunan desa, Hajat Lembur memainkan peran sebagai strategi ketahanan sosial, membangun jejaring solidaritas, komunikasi lintas warga, hingga peningkatan kepercayaan sosial (social trust). Ketika konflik atau persoalan muncul, ikatan yang telah terbentuk melalui kegiatan kolektif seperti ini menjadi modal sosial yang sangat berharga.
Tidak hanya itu, acara ini juga memiliki dimensi ekologi. “Kegiatan ini menjadi strategi pelestarian lingkungan dan cara untuk mempererat hubungan sosial warga,” kata Abah Sundana. Ruatan dan hajat lembur mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam, sesuatu yang kerap diabaikan dalam diskursus pembangunan modern.

Kekhawatiran Terhadap Generasi Muda
Salah satu pesan kuat yang muncul dalam kegiatan ini adalah kekhawatiran akan lunturnya nilai-nilai adat di kalangan generasi muda. Globalisasi dan derasnya arus informasi telah menciptakan jurang generasi dalam hal pemahaman budaya lokal. “Peran orang tua penting dalam mewariskan nilai-nilai luhur budaya dan spiritualitas kepada anak-anak,” ujar Abah Amang.
Simbol-simbol tradisional seperti tumpeng nasi kuning, janur, kelapa muda, hingga bendera dan umbul-umbul yang menghiasi lokasi acara bukan hanya ornamen estetis, tetapi sarana edukasi visual bagi generasi muda tentang akar budaya mereka. Pemberian amplop kepada anak-anak, meskipun sederhana, adalah cara komunitas mengajarkan nilai berbagi dan tanggung jawab sosial sejak dini.

Potensi Replikasi dan Konsolidasi Budaya Desa
Kepala Desa Sukajaya menyatakan harapan agar kegiatan ini dapat direplikasi di RW lain. “Saya berharap RW lain yang belum melaksanakan kegiatan seperti ini bisa ikut mengadakan. Karena acara seperti ini sangat bermanfaat untuk mempererat tali silaturahmi dan membangun kebersamaan antarwarga,” tuturnya.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bagaimana kegiatan berbasis budaya lokal tidak hanya penting sebagai pelestarian warisan leluhur, tetapi juga sebagai strategi pembangunan desa berbasis nilai. Jika dikelola dengan baik, kegiatan semacam ini berpotensi menjadi model pengembangan komunitas yang holistik, mengintegrasikan aspek sosial, spiritual, budaya, dan lingkungan

Penutup: Antara Tradisi dan Masa Depan
Milangkala ke-8 Hajat Lembur RW 14 Kampung Pamecelan menunjukkan bahwa dalam hiruk pikuk zaman, masyarakat masih membutuhkan ruang-ruang kolektif yang mengakar pada nilai, identitas, dan kebersamaan. Ketika tradisi dijalankan bukan karena rutinitas semata, melainkan sebagai bagian dari strategi hidup bersama, maka masa depan komunitas dapat ditopang oleh kekuatan lokal yang autentik dan berkelanjutan.
Sebagaimana pesan Abah Rusmana: “Mari jaga alam, hormati leluhur, dan terus hidup dalam harmoni dengan nilai-nilai luhur budaya Sunda. Jangan sampai adat dan nilai kearifan lokal terkikis oleh modernitas.” (Nuka)
mantaap kang
Terima kasih