Kabupaten Bandung Barat – 6 Juni 2025
Bertepatan dengan 10 Zulhijjah 1446 Hijriah, Lintang Astha kembali menyelenggarakan ibadah kurban sebagai bentuk kepedulian sosial dan pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kegiatan yang dilaksanakan pada hari raya Iduladha ini dipimpin langsung oleh tokoh sentral Lintang Astha, drh. H. M. Burhan, yang secara pribadi menyerahkan satu ekor sapi dan empat ekor domba sebagai hewan kurban.
Dalam keterangannya kepada media, drh. H. M. Burhan menyampaikan bahwa niat dan pelaksanaan kurban ini murni ditujukan untuk mengharap ridha Allah semata, serta sebagai wujud rasa syukur atas segala nikmat dan karunia-Nya.

“Alhamdulillah, tahun ini saya pribadi dapat menunaikan ibadah kurban satu ekor sapi dan empat ekor domba. Ijab kabul kurban ini kami niatkan untuk seluruh anggota Lintang Astha. Tentunya, semua dilakukan sesuai syariat: satu ekor sapi untuk tujuh orang, dan satu ekor domba untuk satu orang,” ujar beliau.
Beliau juga menegaskan bahwa semangat berkurban harus dijaga dan diwariskan dalam setiap langkah perjuangan organisasi, agar nilai-nilai keikhlasan dan pengorbanan tidak pernah pudar. Lebih dari sekadar prosesi, kurban menjadi sarana untuk mempererat ukhuwah islamiyah dan mewujudkan solidaritas sosial di tengah masyarakat.

“Harapan kami, semoga kurban ini bisa menjadi amal jariyah yang terus membawa manfaat bagi masyarakat. Biarlah kegiatan ini terus berlangsung selama Lintang Astha berdiri, bahkan hingga hari kiamat kelak. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kekuatan, baik lahir maupun batin, kepada kami untuk terus istiqamah dalam perjuangan,” tutur beliau penuh harap.
Lebih lanjut, drh. Burhan menjelaskan bahwa total hewan kurban tahun ini terdiri dari satu ekor sapi dan enam ekor domba. Rinciannya, satu ekor sapi dan dua ekor domba berasal dari beliau secara pribadi, satu ekor domba dari Haji Aib, dan tiga ekor domba lainnya merupakan hasil iuran dari para anggota Lintang Astha selama satu tahun.

Sebagai bentuk komitmen sosial yang konsisten sejak tahun 2008, pembagian daging kurban tidak hanya diperuntukkan bagi internal Lintang Astha, tetapi justru lebih diutamakan untuk masyarakat sekitar, terutama kaum dhuafa dan warga yang membutuhkan.
“Sejak awal, kami selalu mengutamakan masyarakat luar dalam pembagian daging kurban. Satu ekor sapi beratnya bisa mencapai 400 kilogram, yang kemudian dibagi menjadi sekitar 400 kantong daging. Semoga semua yang menerima mendapat keberkahan, dan bagi yang berkurban mendapat pahala serta keridhaan dari Allah SWT,” ungkap beliau.

Di akhir penyampaiannya, drh. H. M. Burhan mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu menyukseskan kegiatan ini. Ia juga memberikan apresiasi kepada semua yang hadir dan berharap agar informasi ini bisa menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk terus menghidupkan semangat berkurban dan berbagi dalam bingkai keimanan.
“Semoga kita semua yang hadir hari ini diberi keberkahan oleh Allah dan diberi kemudahan dalam menyampaikan pesan-pesan kebaikan kepada umat,” tutupnya.

Lintang Astja menegaskan kembali komitmennya untuk terus hadir di tengah umat, menebarkan manfaat, dan menegakkan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitas. Ibadah kurban ini bukan hanya sebagai ibadah tahunan, tetapi sebagai simbol ketundukan dan ketulusan kepada Sang Pencipta, serta sarana membangun hubungan sosial yang berlandaskan kasih sayang dan kepedulian.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.”
(Surah Al-Kautsar: 1-2)
Historis Kronik Pembangunan / Nasional, Jejak Unik Pendirian Masjid Agung Lintang Astha: Ziarah Para Perajin ke Masjid Agung Demak sebagai Fondasi Awal
Pembangunan Masjid Agung Lintang Astha di wilayah Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, memendam sebuah kisah yang tak lazim dalam lembaran sejarahnya. Rancangan masjid ini sengaja digagas agar menyerupai segenap bentuk Masjid Agung Demak. Bahkan, sebelum bilah kayu pertama terpasang, para perajin dan tukang yang akan menggarapnya diajak terlebih dahulu untuk menunaikan ziarah ke salah satu cikal bakal arsitektur Islam di Nusantara itu.
Kronik pembangunan masjid ini mencatat rentang waktu sekitar satu tahun. Terhitung sejak hari pertama dimulainya konstruksi pada 2 September 2018, mahakarya ini resmi dibuka dan dipergunakan untuk salat Tarawih perdana pada bulan suci Ramadan tahun 2019.
Perwujudan Inspirasi dari Pusara Demak
Masjid Agung Lintang Astha hadir dengan mengusung langgam tradisional Jawa kuno yang terilhami kuat oleh arsitektur Masjid Agung Demak. Atapnya berbentuk limas tiga susun yang mencolok, dan menariknya, masjid ini tidak dilengkapi menara. Sebagai gantinya, berdiri sebuah tugu menyerupai miniatur Monas, seolah menjadi penanda khas di halaman depannya.
Saat menilik ke bagian dalam, corak Masjid Demak semakin terasa kental. Seperti pendahulunya, Masjid Agung Lintang Astha ditopang oleh empat saka atau tiang besar, yang menjadi penopang utama bangunannya. Selain itu, keunikan lain terpahat pada dinding-dindingnya. Tidak hanya hiasan kaligrafi Arab, namun turut terukir tulisan berbahasa Indonesia serta aksara Sanskerta.
Guratan-guratan tersebut memuat petikan ayat Al-Qur’an, huruf khat, selawat, hingga syair-syair bernilai sastra.
Sang Penggagas dari Tanah Demak: Menorehkan Jejak di Barat Jawa
Sejarah mendirikan masjid yang meniru arsitektur Masjid Agung Demak ini adalah buah pikiran dari Muhammad Burhan, seorang tokoh yang berakar dari Demak.
“Pembangunan dimulai pada tahun 2018. Adapun arsitekturnya memang meniru Masjid Agung Demak, karena penggagas masjid ini adalah asli putra daerah sana. Beliau kini berdomisili di sini namun kerap berziarah ke Demak.
Luas bangunan Masjid Agung Lintang Astha tercatat sekitar 337,5 meter persegi. Seluruh pembiayaan, baik untuk lahan maupun konstruksi yang mencapai total kurang lebih Rp1,3 miliar, sepenuhnya bersumber dari dana pribadi. Demi memastikan presisi bangunan menyerupai induknya, sebuah langkah unik diambil: sejumlah perajin dan tukang sengaja dibawa terlebih dahulu ke Masjid Agung Demak, sembari berziarah dan menelaah langsung detail arsitekturnya.
“Maka dari itu, agar bangun ini dapat menyerupai aslinya, banyak tukang sengaja dibawa dulu ke Masjid Agung Demak sambil berziarah,”.
Sebuah Mercusuar Keagamaan di Ngamprah
Masjid ini, yang berdiri megah tepat di hadapan kantor Kecamatan Ngamprah, kini menjadi pusat aktivitas bagi sekitar 100 jemaah. Selain berfungsi sebagai tempat salat berjemaah, ia juga rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan lain, seperti pengajian, madrasah bagi anak-anak, dan berbagai majelis ilmu lainnya.
“Bangunan masjid ini mungkin terbilang unik dalam wujudnya. Namun, yang terpenting menurut pandangan saya adalah bagaimana masjid ini dapat terus makmur dan menjadi pusat kebermanfaatan,”
By Nuka.