Monitoring dan Evaluasi DTKS serta Pembaruan DTSEN 2025: Upaya Menyatukan Data demi Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Bandung Barat

Bandung Barat Nasional

Kabupaten Bandung Barat – 11 September 2025. Pemerintah terus memperkuat komitmen dalam penanggulangan kemiskinan dengan menghadirkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) sebagai basis utama berbagai program sosial. Hal itu tercermin dalam Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) serta pembaruan DTSEN tahun 2025 yang digelar di Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Pertemuan ini dihadiri oleh unsur Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), dinas kesehatan, unsur komunikasi statistik, aparat kecamatan, kepala desa, ketua Apdesi, hingga Inspektorat Kabupaten Bandung Barat. Kehadiran lintas sektor ini menjadi bukti bahwa pembaruan data bukan hanya soal administrasi, melainkan menyangkut hajat hidup masyarakat banyak.

Membuka Data, Menutup Kesenjangan

Kepala Dinas Sosial KBB, Idad Saadudin, dalam sambutannya menegaskan pentingnya pertemuan ini sebagai ruang bersama untuk memperbaiki data sosial ekonomi agar program pengentasan kemiskinan tepat sasaran.

“BPS telah ditugaskan untuk menjadi sumber data tunggal. Basis data harus dipadatkan agar tepat sasaran. Permasalahan terbesar selama ini adalah data yang salah sasaran. Melalui pertemuan ini, semua pihak dapat menyampaikan keluh kesah sekaligus mencari solusi bersama,” ungkap Idad Saadudin

Ia juga menyebutkan, jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat saat ini mencapai 1.946.328 jiwa. Dengan angka sebesar itu, dibutuhkan kerja kolektif dalam melakukan verifikasi dan validasi data agar tidak ada masyarakat miskin yang tercecer dari program bantuan.

“Ke depan akan ada sosialisasi berkelanjutan agar seluruh perangkat daerah hingga desa memahami DTSEN secara komprehensif,” tambahnya.

Penyempurnaan Data: Pintu Masuk Program Sosial

Materi utama pertemuan disampaikan oleh Ida Ningrum, Kepala Bidang Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. Ia menegaskan bahwa data kemiskinan kini sepenuhnya telah bertransformasi ke DTSEN.

“Ketika kita ingin program ini berjalan baik, yang pertama harus dilakukan adalah penyempurnaan data. Presiden sangat konsen terhadap isu kemiskinan, termasuk melalui program sekolah rakyat agar semua anak bisa bersekolah, terutama yang kurang mampu,” ujar Ida.

Menurutnya, landasan hukum DTSEN sudah jelas, yakni Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang DTSEN dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang optimalisasi pengentasan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Dalam paparannya, Ida menyebutkan bahwa Kabupaten Bandung Barat berada di urutan ke-6 tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Dari total penduduk, sekitar 199 ribu jiwa masuk kategori Desil 1, yakni kelompok paling miskin. Kecamatan Cikalongwetan dan Sukaresmi menjadi wilayah dengan jumlah warga miskin yang cukup besar.

“Semua kepala desa harus betul-betul mendata warganya. Mulai dari tanggungan keluarga, penghasilan, hingga daya listrik. Data ini nantinya akan disinkronkan dengan BPJS Kesehatan, Pertamina, dan PLN. NIK aktif adalah syarat mutlak,” tegasnya.

Bukan Banyak Data, Tapi Satu Data

Salah satu masalah klasik yang dihadapi pemerintah adalah tumpang tindih data. Ada DTKS, P3KE, Regsosek, hingga data sektoral di kementerian atau lembaga. Akibatnya, penerima bantuan sering kali tidak tepat.

“Pemerintah jangan punya banyak data, cukup satu data: DTSEN. Dengan satu data, sinkronisasi akan lebih mudah dan bantuan bisa lebih tepat sasaran,” kata Ida.

Meski demikian, ia juga mengakui masih ada kelemahan teknis. Misalnya, dalam pendataan aset keluarga yang masih menggunakan jawaban ya/tidak tanpa detail jumlah. Padahal informasi ini penting untuk menilai secara akurat tingkat kesejahteraan keluarga.

Selain itu, Ida menyoroti fenomena pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol) yang kini menyasar kelompok masyarakat miskin. Kondisi ini memperparah beban ekonomi dan sering kali membuat bantuan sosial menjadi tidak efektif.

“Bantuan sosial itu harus dibatasi maksimal lima tahun. Kalau sampai lebih dari 10 tahun lebih, itu justru tidak baik untuk pemberdayaan,” jelasnya.

Suara Desa: Antara Harapan dan Keraguan

Sesi tanya jawab berlangsung hangat. Dari Desa Wangunsari, Kepala Desa Diki Rohani menyampaikan bahwa DTKS dirasa lebih dinamis, namun realisasi di lapangan sering menemui hambatan.
“Apa jaminannya data baru ini akan lebih memudahkan dalam pelaksanaan program?”

Dari Desa Jayagiri Kepala Desa Cece Wahyudin mengungkapkan bahwa sejak era DTKS, sering terjadi dilema di masyarakat karena data pusat tidak sinkron dengan data desa.

“Banyak warga yang seharusnya berhak, justru tidak masuk dalam daftar penerima bansos. Kalau DTSEN ingin berjalan baik, sosialisasi ke desa harus maksimal,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Ida Ningrum menegaskan bahwa DTSEN hadir justru untuk mengakhiri masalah tersebut.

“Sudah dilakukan pemutakhiran data bersama BPS dan Kementerian Sosial. Dengan DTSEN, perbedaan data pusat dan daerah tidak akan terjadi lagi. DTSEN akan terus diperbaharui, sehingga validitasnya semakin kuat,” jelasnya.

Data yang Menentukan Masa Depan

Dari data yang dipaparkan, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat per Maret 2025 mencapai 7,02 persen atau 3,65 juta jiwa. Angka ini memang menurun dibanding lima tahun sebelumnya, namun masih menunjukkan tantangan besar.

Di KBB sendiri, tingkat kemiskinan berada di angka 10,49 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi. Fakta ini memperlihatkan bahwa pembaruan data bukan sekadar agenda administratif, melainkan bagian dari strategi besar mengentaskan kemiskinan.

DTSEN sendiri merupakan hasil penyatuan tiga basis data utama: DTKS, P3KE, dan Regsosek, yang kemudian dipadankan dengan data kependudukan Dukcapil. Di dalamnya tercatat berbagai variabel mulai dari identitas, kondisi tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, hingga kepemilikan aset.

Bantuan Nyata dari Provinsi

Sebagai wujud nyata kepedulian, pada kesempatan tersebut juga diberikan bantuan dari Kemensos untuk masyarakat KBB, berupa beberapa kursi roda dan 15 alat bantu dengar. Meski jumlahnya terbatas, bantuan ini diharapkan dapat langsung dirasakan oleh penerima manfaat.

Tantangan ke Depan: Akurasi, Sosialisasi, dan Kepercayaan

Jika ditelisik, problem klasik dalam penyaluran bansos selalu kembali pada tiga hal: akurasi data, kurangnya sosialisasi, dan menurunnya kepercayaan masyarakat.

Pertama, soal akurasi. Masih sering ditemui kasus di mana keluarga mampu justru terdaftar sebagai penerima, sementara keluarga miskin tercecer. Inilah yang ingin diatasi dengan DTSEN.

Kedua, sosialisasi. Para kepala desa dan aparat desa kerap mengaku kebingungan karena perubahan regulasi cepat, sementara panduan teknis terlambat. Hal ini harus dijawab dengan edukasi berkelanjutan.

Ketiga, kepercayaan. Warga sudah terlalu sering kecewa dengan data yang dianggap “tidak sesuai kenyataan”. Maka, membangun kembali kepercayaan publik adalah pekerjaan besar.

Menyatukan Langkah, Menatap Harapan

Pertemuan monitoring dan evaluasi ini menjadi titik awal penting. Bukan sekadar membicarakan data, melainkan membicarakan masa depan jutaan masyarakat. Dengan DTSEN, harapannya tidak ada lagi cerita tentang bantuan salah sasaran, warga miskin yang tak terdata, atau tumpang tindih program.

Sebagaimana diungkapkan Kadis Sosial Bandung Barat Idad, “Pertemuan ini adalah ruang bagi kita semua untuk menyampaikan masalah sekaligus menyatukan langkah. Tujuannya jelas: agar data valid, program tepat sasaran, dan masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya.”

Dengan semangat membersihkan data dan tekad bersama, KBB dan Jawa Barat pada umumnya menatap masa depan di mana kesejahteraan bukan lagi sekadar angka dalam laporan, tetapi kenyataan yang dirasakan warga di setiap pelosok desa. (aq-nk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *