Pengadaan iPad Hampir Rp1 Miliar di DPRD KBB, Kritik Publik Menguat: Prioritaskan Rakyat, Bukan Gengsi

Bandung Barat Nasional

BANDUNG BARAT, JABAR – Di tengah upaya pemerintah pusat untuk mengefisiensikan anggaran dan menekan pemborosan, publik dikejutkan oleh munculnya tender pengadaan perangkat iPad untuk Sekretariat DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang nilainya diduga hampir menyentuh Rp1 miliar dari APBD tahun 2025. Kabar ini sontak menjadi sorotan luas di media sosial maupun kanal berita daring, menyulut pertanyaan dan kecaman dari masyarakat yang tengah bergelut dengan berbagai tantangan ekonomi.

Pengadaan sebanyak 50 unit iPad ini disebut-sebut bertujuan menggantikan perangkat lama yang dianggap sudah tidak lagi memadai untuk menunjang aktivitas para wakil rakyat. Seorang anggota DPRD KBB yang enggan disebutkan namanya bahkan mengungkapkan bahwa rasa malu dan kurang percaya diri saat mengikuti rapat dengan kementerian menjadi salah satu alasan dibalik keputusan pengadaan tersebut.

Namun publik menanggapi alasan ini dengan nada kritis. Di salah satu kolom komentar media sosial, seorang warga menulis, “Kalau memang perangkat lama tidak mendukung, mengapa tidak diupayakan perbaikan atau upgrade? Kenapa harus membeli baru dengan anggaran sebesar itu? Apa tidak ada kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak?”

Kritik juga datang dari Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan KBB, M. Raup, yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Ia menyoroti bahwa instruksi Presiden melalui Peraturan Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 secara tegas menekankan efisiensi anggaran dan penghapusan kegiatan seremonial yang boros, namun tampaknya belum tercermin dalam praktik di daerah. “Masih banyak kegiatan rapat di hotel berbintang yang menguras anggaran. Sekarang ditambah lagi dengan pengadaan iPad. Ini bukan sekadar soal perangkat, tapi soal keberpihakan anggaran. Untuk siapa sebenarnya anggaran ini dialokasikan?” ujarnya.

Menanggapi sorotan ini, Sekretaris DPRD KBB, Roni Rudyana, membenarkan adanya pengadaan tersebut. Ia menegaskan bahwa prosesnya telah mengikuti prosedur yang berlaku, serta bahwa iPad tersebut merupakan aset inventaris daerah, bukan milik pribadi anggota dewan. Jika rusak atau hilang, maka pemegang barang, yakni anggota DPRD, wajib bertanggung jawab menggantinya.

Meski pernyataan ini terkesan formal dan prosedural, publik tampaknya tidak cukup puas. Masyarakat menuntut bukan hanya legalitas, tetapi juga etika dalam penggunaan anggaran. Dalam kondisi ekonomi daerah yang belum sepenuhnya pulih, dan berbagai persoalan sosial seperti infrastruktur rusak, akses pendidikan dan kesehatan yang masih timpang, langkah pengadaan perangkat teknologi dengan nilai nyaris satu miliar rupiah tampak kontras dan kurang empati.

Sejatinya, tidak ada yang menentang pemutakhiran perangkat kerja, apalagi jika itu dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas legislatif. Namun publik berharap, setiap rupiah dalam APBD dikelola dengan prinsip skala prioritas dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Bukankah akan lebih bijak jika dana sebesar itu dialokasikan, misalnya, untuk beasiswa pelajar kurang mampu, perbaikan jalan desa, peningkatan pelayanan kesehatan, atau program pemberdayaan ekonomi masyarakat?

Kritik yang muncul bukan untuk menjatuhkan, tetapi sebagai refleksi bahwa kepercayaan publik adalah aset yang mahal. Masyarakat butuh pemimpin yang tidak hanya mewakili suara mereka di gedung dewan, tetapi juga mampu menunjukkan solidaritas dan kepekaan sosial dalam setiap kebijakan yang diambil.

Di tengah gelombang kritik ini, satu pertanyaan mendasar mengemuka: Di saat rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok, apakah pengadaan iPad benar-benar hal yang paling dibutuhkan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *