Bandung Barat, pada 24 Juni 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bandung Barat menggelar Rapat Paripurna – rapat resmi tertinggi di tingkat legislatif daerah. Masyarakat umum mungkin hanya melihatnya sebagai agenda resmi, tapi sejatinya dua poin penting dibahas: pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran tahun 2024 dan rencana Peraturan Daerah (Raperda) tentang bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Di balik forum formal tersebut, terdapat pelajaran penting tentang bagaimana tiga pilar (eksekutif–legislatif–rakyat) saling berinteraksi untuk mewujudkan pembangunan nyata.

- Legislatif dan Eksekutif: Kerja Sama Demi Kepentingan Bersama
DPRD (legislatif) bertugas membuat dan mengawasi peraturan daerah, serta mengevaluasi penggunaan anggaran.
Bupati dan jajaran (eksekutif) mengusulkan, merealisasikan program, dan bertanggung jawab atas penggunaan uang rakyat.
Rapat Paripurna kali ini memperlihatkan dialog dua arah:
Pemerintah daerah menyampaikan laporan penggunaan APBD tahun anggaran 2024.
Fraksi-fraksi DPRD memberikan pandangan, kritik, serta masukan.
DPRD juga membuka inisiatif membentuk Raperda tentang bantuan hukum.
Bupati merespons inisiatif tersebut dan DPRD memberi tanggapan balik.
Proses ini mencerminkan dialog terbuka dan mutual checking – eksekutif mengajukan, legislatif mengkritisi, dan rakyat (melalui fraksi) ikut mengawal.
- Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024: Transparansi Anggaran
Pertanggungjawaban APBD adalah langkah penting agar masyarakat tahu:
- Untuk apa uang daerah digunakan?
- Apakah sesuai kebutuhan prioritas warga?
- Apa hasil konkret di lapangan?
Dalam kesempatan tersebut, pemerintah daerah menyampaikan Nota Pengantar pertanggungjawaban APBD 2024. Judulnya mungkin berat, tapi esensinya sederhana:
- Sejauh mana program kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan bantuan sosial terealisasi?
- Adakah penyerapan anggaran rendah (under spending) atau malah melonjak (risk over spending)?
- Apa kendala lapangan dan seperti apa evaluasi capaian?
Fraksi-fraksi DPRD kemudian memberi komentar. Ada pujian ketika realisasi bagus, ada kritik saat capaian stagnan atau tidak sesuai target. Ini wajar dan sehat dalam demokrasi, karena uang rakyat harus dipertanggungjawabkan dengan prinsip:
“Dibangun sesuai janji, diukur manfaatnya bagi masyarakat, dan diketahui masalahnya.”
- Pandangan Umum Fraksi: Kritik Konstruktif
Fraksi DPRD hadir sebagai jembatan aspirasi rakyat. Setiap fraksi menyampaikan pandangan umumnya terkait pertanggungjawaban anggaran; kritik mereka penting untuk:

- Menunjuk catatan problematik, misalnya adanya proyek terlambat, kualitas belum maksimal, atau prosedur kurang transparan.
- Memberikan rekomendasi agar penggunaan APBD selanjutnya lebih fokus ke dampak langsung warga miskin, nelayan, petani, dan pelaku UMKM.
- Mendorong pemerintah menjelaskan solusi atas temuan ini secara jelas dan konkret.
Contoh kritik konstruktif:
- “Ada program bantuan sembako yang terlambat cair hingga warga menanggung biaya sendiri.”
- “Beberapa jembatan desa belum layak, padahal anggarannya cukup besar.”
- “Penyerapan dana belanja pelayanan publik rendah; perlu percepatan.”
Fraksi juga menekankan: evaluasi APBD tidak boleh jadi sekadar acara rutinitas, tapi harus diikuti langkah nyata untuk memperbaiki kelemahan dalam penganggaran.
- Raperda Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin: Legislasi dengan Sentuhan Sosial
Bagian kedua rapat membahas Raperda yang diajukan DPRD tentang bantuan hukum gratis. Ini inisiatif yang ditujukan membantu warga kurang mampu mendapatkan akses keadilan yang adil:
- Mendampingi menghadapi masalah hukum, seperti hak kepemilikan tanah, utang, atau permasalahan konsumen.
- Menjamin bahwa orang miskin tidak kehilangan hak hanya karena tak mampu bayar jasa pengacara.
Raperda ini kelihatan sederhana, tapi membawa dampak besar jika diimplementasikan. Dalam rapat:
- DPRD menjelaskan latar belakang dan urgensi:
- Banyak kasus warga tidak bisa membayar advokat.
- Selama ini layanan bantuan hukum informal dan terbatas.
- Bupati memberikan pandangan: bisa menerima, memberi masukan, atau menolak.
- DPRD menanggapi kembali pendapat Bupati:
Jika ada catatan, DPRD bisa menyesuaikannya di tahap selanjutnya.
Langkah ini memperlihatkan mekanisme check and balance: legislatif menggagas, eksekutif merespons, lalu legislatif mengevaluasi kembali. Model seperti ini pantas dikedepankan agar Raperda bukan hiasan hukum, tapi solusi nyata.
- Kritik dan Harapan Rakyat: Lebih dari Acara Seremonial
Masyarakat menilai:
“Acara besar dan rapat paripurna itu tampak resmi, tapi hasil akhirnya boleh jadi hanya tertulis di atas kertas.”
Kritik seperti ini wajar. Harapan rakyat tinggi agar:
- Implementasi segera: jika laporan APBD menunjukkan keterlambatan proyek, harus segera ada jadwal perbaikan dan pelaporan publik setelahnya.
- Anggaran tepat sasaran: fokus bantuan sosial dan pembangunan desa agar langsung dirasakan di pelosok.
- Perda bantuan hukum diikuti regulasi pelaksanaan: misalnya, pendirian Pusat Pelayanan Terpadu (P2TP2H) di tingkat kecamatan atau kerjasama dengan lembaga hukum swasta.
Apa kata mereka:
“Jangan hanya bahas di DPRD, tapi pratikan di masyarakat.”
- Proses Kolaborasi: Tiga Pilar Berkontribusi
Rapat paripurna kali ini memperlihatkan tiga pilar demokrasi daerah:
- Legislatif: Membuka ruang dialog dan kontrol, memberi pandangan, menjaga agar program pemerintah konsisten dengan kebutuhan rakyat.
- Eksekutif: Mewujudkan program dan menjawab evaluasi serta aspirasi DPRD.
- Masyarakat: Menyuarakan harapan: program harus membawa keadilan, kesejahteraan, dan layanan publik yang nyata.
Kritik dan saran bukan halangan, justru bahan bakar agar pembangunan tidak mandek, dan terus selaras dengan kebutuhan rakyat.
- Harapan Tindak Lanjut: Bukan Hanya Perdebatan
Agar rapat tidak berhenti di dokumen, perlu:
- Rencana aksi terukur: DPRD dan Pemda harus menyusun rencana tindak lanjut dengan tenggat waktu real, seperti:
- Penyelesaian infrastruktur desa dalam 3 bulan
- Penyusunan regulasi turunan capaian Raperda bantuan hukum dalam 6 bulan
- Publikasi berkala: Laporan capaian bulanan disampaikan melalui laman resmi atau buletin desa.
- Partisipasi warga: Rapat evaluasi di tingkat desa/kecamatan, agar warga bisa menyampaikan langsung penilaian dan masukan.
- Monitoring independen: Lembaga pemberdayaan atau media lokal bisa diberdayakan untuk menjaga konsistensi implementasi program.
- Pesan Penutup: Demokrasi yang Dirasakan
Rakyat perlu tahu setiap rapat paripurna DPRD bukan sekadar agenda formal. Dua isu yang dibahas pada 24 Juni 2025 adalah bentuk nyata proses demokrasi:
- Pertanggungjawaban APBD, memastikan uang daerah dipakai dengan baik;
- Raperda bantuan hukum, memastikan keadilan bisa dijangkau seluruh warga.
Tapi sekali lagi, yang esensial bukan hanya laporan dan pasal per pasal. Yang paling penting adalah apa yang dirasakan warga di lapangan:
- Jalan yang berbenah, jembatan yang layak,
- Layanan hukum yang tersedia untuk keluarga kurang mampu,
- Kecamatan-kecamatan yang merdeka dari birokrasi lambat.
Mari dorong lembaga legislatif dan eksekutif daerah agar:
- Lebih terbuka: laporan hasil kerja dan realisasi program bisa diakses publik.
- Lebih tegas: buat jadwal dan mekanisme evaluasi yang jelas.
- Lebih melibatkan rakyat: agar warga bukan penonton, tapi bagian dari solusi.
Contoh Nyata Dampak Rapat Paripurna:
Isu Tindak Lanjut yang Diantisipasi
Proyek jembatan desa tertunda Pengejaran kontraktor dalam dua minggu, laporan ke DPRD setiap bulan
Bantuan hukum untuk masyarakat miskin Tim advokat desa dibentuk dalam 3 bulan, user friendly helpline
Evaluasi program nasional seperti BPJS dan SPP gratis
Koordinasi lintas OPD dalam satu forum publik
Ayo Cerdas Memahami Hak dan Kewajiban Kita!
Sebagai warga:
- Kenali fungsi DPRD dan Bupati: Bukan “orang jauh”, mereka penjaga hak rakyat.
- Pantau dan ajukan pertanyaan: Jika ada kebijakan APBD yang belum jelas, tanyakan lewat forum publik, media sosial, atau langsung ke wakil Anda.
- Gunakan saluran resmi: Kalau membutuhkan bantuan hukum, Anda bisa menanyakan progres Raperda bantuan hukum—apakah sudah masuk pembahasan detail?
- Suarakan lewat media dan komunitas: Kritik dan dorongan publik membuat pembangunan lebih baik.
Kesimpulan
Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Bandung Barat pada 24 Juni 2025 bukan hanya ritual formal belaka. Ia adalah titik temu antara evaluasi, aspirasi, dan rencana aksi. Eksekutif melaporkan, legislatif mengkritisi dan menggagas, masyarakat mengawasi—semua demi satu tujuan:
Pemerintahan yang nyata, roda pembangunan yang berpihak langsung pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar acara seremonial dan catatan di atas kertas.
Mari kita dorong agar setiap anggaran, peraturan, dan program benar‑benar dirasakan manfaatnya: jalan yang bisa dilalui, bayi yang mendapat pelayanan sehat, keluarga miskin yang dapat perlindungan hukum—itulah hasil nyata dari demokrasi yang bekerja untuk rakyat.
Terus Pantau – Tetap Kritisi – Pastikan Wujud Nyata, itulah kunci agar agenda legislatif-eksekutif tidak hanya berhenti di kata dan paripurna, tetapi mencapai titik yang dirasakan langsung di lapangan. Semoga narasi ini membantu meningkatkan pemahaman, partisipasi, dan harapan besar kita akan pemerintah yang sungguh‑sungguh bekerja untuk rakyat. (Red)