Bayangkan ada tanah milik bersama, tanah carik, milik desa, yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti aula, GOR, atau taman warga, tiba-tiba menghilang dari peta kepemilikan desa. Tanpa ada rapat warga, tanpa ada musyawarah desa, tahu-tahu sudah bersertipikat atas nama orang lain. Itulah tragedi diam-diam yang dialami oleh masyarakat Desa Cihanjuang, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.

Tanah seluas 2,75 hektare yang dahulu dicadangkan untuk kepentingan bersama, kini telah berubah menjadi milik perorangan. Bagaimana bisa? Siapa yang mengizinkan? Dan yang lebih menyakitkan: sudah 20 tahun berlalu, kasus ini tak kunjung selesai. Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bandung Barat janganlah diam dalam sunyi, seolah menunggu masyarakat lupa. Tapi sayangnya, rakyat Cihanjuang tidak mudah lupa.

Surat Sudah Dikirim, Jawaban Tak Pernah Datang
Pada 25 Februari 2025, Pemerintah Desa Cihanjuang mengirim surat resmi bernomor 140/17/11/2025 kepada Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung Barat. Isinya jelas dan tegas: mempertanyakan keabsahan sertipikat hak milik yang muncul di atas tanah carik desa, serta meminta tindak lanjut. Tapi hingga pertengahan Mei 2025, tak ada sepucuk surat balasan pun dari BPN. Sunyi. Senyap tak bersuara.
Apa alasan BPN? Lewat wawancara di front desk informasi pelayanan pertanahan di BPN Kabupaten Bandung Barat pada Selasa 20 Mei 2025 yang menerima petugas pelayanan informasi, kami berharap bisa bertemu langsung dengan pimpinan yang bisa memberi jawaban kepastian, ketika itu setelah petugas menghadap atasannya dan kembali kepada kami, ternyata jawaban yang standar disebutkan bahwa masalah ini masih dalam proses koordinasi dengan Kanwil BPN Jawa Barat. Sudah berapa lama koordinasi? Tidak ada tanggal pasti. Apakah Kepala Kantor BPN tahu? “Sepertinya belum.” Sebuah jawaban klasik dari birokrasi: mengambang, tidak tuntas, dan penuh penghindaran.
Ada Apa dengan Tanah Ini?
Kasus ini sudah berjalan sejak 2001. Dua dekade lebih. Tapi kenapa sulit diselesaikan? Dugaan masyarakat: ada yang tidak beres di balik penerbitan sertipikat di atas tanah tersebut. Mungkinkah ada permainan oknum pada masa lalu? Apakah proses jual-beli dulunya dilakukan secara diam-diam, tanpa musyawarah desa? Apakah ada unsur kesepakatan di balik meja yang kini ditutupi dengan alasan “proses” yang tak kunjung selesai?
Birokrasi kita memang “lihai” menyembunyikan kesalahan masa lalu. Alih-alih memperbaiki, mereka membiarkan masalah berlarut-larut hingga rakyat lelah dan menyerah. Tapi masyarakat Cihanjuang belum menyerah. Masyarakat masih menanti. Pemerintah desa masih bersuara. Dan kini, saatnya publik ikut membuka mata.
20 Tahun untuk Apa?
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengakui kesalahan? Berapa lama waktu untuk mengoreksi proses sertifikasi yang cacat? Apakah 20 tahun belum cukup bagi BPN untuk menuntaskan satu kasus tanah carik?
Jawabannya tergantung pada ada tidaknya itikad baik. Jika niatnya serius, kasus seperti ini bisa diselesaikan dalam waktu hitungan bulan, bukan dekade. Tapi jika tujuannya adalah menutup aib masa lalu, atau menutupi pihak-pihak yang sudah menikmati hasil dari proses yang tidak sah, maka penundaan akan terus terjadi. Itulah yang ditakutkan masyarakat.
Selama aparat pertanahan sibuk rapat tanpa hasil, masyarakat Cihanjuang justru kehilangan kesempatan. GOR tidak pernah dibangun. Aula desa hanya jadi mimpi. Tanah yang seharusnya jadi pusat aktivitas warga, kini berubah menjadi simbol ketidakadilan.
Saatnya Dibuka ke Publik
Bukan rahasia lagi bahwa banyak kasus tanah di Indonesia yang berhenti di meja birokrat, bukan di meja hukum. Laporan masuk, tapi hanya diputar-putar dengan alasan klasik: “perlu kajian,” “menunggu koordinasi,” “tunggu proses.” Tapi apa jadinya jika rakyat terus dirugikan karena lambatnya birokrasi?
Kami meyakini, kasus ini harus dipublikasikan. Bukan sekadar untuk mencari sensasi, tapi untuk membangunkan para pemegang kuasa yang selama ini tertidur sambil membiarkan tanah rakyat dirampas oleh sistem.
Sudah saatnya pihak yang lebih tinggi turun tangan: Ombudsman, DPRD, bahkan Kementerian ATR/BPN. Jangan biarkan kasus seperti ini dikubur hanya karena “malas bergerak” atau “takut membuka kesalahan yang lalu.”
Ini Bukan Tentang Tanah, Ini Tentang Harga Diri
Tanah carik bukan sekadar aset desa. Ia adalah simbol kedaulatan masyarakat atas ruang hidupnya. Ketika tanah itu hilang karena ulah segelintir orang yang memanfaatkan kelengahan sistem, maka yang dirampas bukan hanya fisik tanah, tapi harga diri dan masa depan warga.
Jika BPN serius melayani rakyat, maka buktikan. Selesaikan. Bersihkan. Jangan lagi lempar wacana “koordinasi” seperti mantra yang meninabobokan.
Dan jika memang ada kesalahan di masa lalu, akuilah. Rakyat akan lebih menghargai kejujuran daripada kepura-puraan.
Kami menerima laporan dan bukti dari berbagai sumber di lapangan. Kami akan terus mengawal kasus ini, hingga titik terang benar-benar muncul. Bukan untuk mencoreng nama instansi, tapi untuk mengembalikan keadilan pada tempatnya.
Jika instansi negara tak lagi melindungi hak rakyat, lalu kepada siapa lagi kita bisa berharap?